Label Cloud

Sunday, September 16, 2007

Reformulasi Birokrasi Mencegah Kerusakan LH

Monday, 03 September 2007 01:49

Oleh: Ir H Asfihani
Anggota Komisi VII DPR RI Dapil Kalsel

Kerusakan lingkungan hidup (LH) di daerah yang penuh pertambangan seperti di Kalsel, tidak hanya dirasakan masyarakat atau LSM. Tapi juga dirasakan kalangan birokrasi pemerintahan sendiri. Laporan Suku Dinas Badan Pengendalian Dampak Lingkungan sebuah kabupaten di Kalsel dan hasil penelitian resmi Kementerian LH yang menyatakan pemegang Kuasa Pertambangan (KP) dan Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), menjadi sumber kerusakan LH dengan segala dampak negatifnya yang sudah dirasakan masyarakat.

Persoalannya, kalau birokrasi pemerintahan merasakan bau tidak sedap, kenapa kerusakan LH itu terus dibiarkan berlanjut? Sudah pasti, mendapat pertanyaan itu masyarakat memberi jawaban pintas: "Birokrasi pemerintahan di berbagai tingkatan sudah dijangkiti mental korup, sehingga lebih suka mengutamakan kepentingan pengusaha daripada mencegah kerusakan LH."

Penjelasan lebih rinci dari tugas konstitusi kepada penyelenggara pemerintahan daerah (DPRD dan kepala daerah) dijelaskan dalam UU 32/2004. Ada tiga inti pemikiran dari UU itu: Pertama, DPRD mempunyai kedudukan sejajar dengan kepala daerah sehingga keduanya berada dalam posisi sama untuk melakukan checks and balances (pengawasan dan pengimbangan). Saling mencegah untuk melakukan penyimpangan dan pelanggaran, yang biasanya akan menyengsarakan masyarakat baik langsung atau tidak langsung.

Kedua, UU 32/2004 mendorong agar DPRD dan kepala daerah saling mengawasi dan mengontrol. Namun, tetap mencegah terjadinya upaya saling menjatuhkan satu sama lain. Karena itu, DPRD hanya dapat mengusulkan pemakzulan kepala daerah kepada presiden (Pasal 42 ayat 1 huruf d), sebagaimana juga kepala daerah tidak dapat membubarkan DPRD.

Ketiga, UU 32/2004 mendorong agar DPRD dan kepala daerah bersama-sama memperjuangkan kepentingan masyarakat. Karena itu, dalam UU itu banyak pasal yang mengharuskan DPRD dan kepala daerah melakukan sesuatu secara bersama-sama. Seperti pembuatan perda, APBD (Pasal 42 ayat 1), menetapkan kebijakan strategis pemerintahan daerah (Pasal 25 huruf a), menerbitkan obligasi daerah (Pasal 169 ayat 2).

Pemahaman itu dikaitkan dengan pencegahan kerusakan LH, maka penyelenggara pemerintahan daerah (DPRD dan kepala daerah) dapat mengeluarkan kebijakan strategis, agar Bapedalda lebih otonom dan mandiri sekaligus tidak berada di bawah kepala daerah yang membuatnya sungkan melakukan pencegahan kerusakan lingkungan. Sebab, izin pertambangan dikeluarkan oleh kepala daerah (gubernur atau bupati) untuk KP dan Menteri Energi Sumber Daya Alam dan Mineral (ESDM) untuk PKP2B.

Karena itu, penyelenggara pemerintahan daerah harus mengupayakan: Pertama, penyelenggara pemerintahan daerah mengusulkan kepada Presiden untuk mengeluarkan PP agar Bapedalda menjadi organisasi vertikal yang menginduk kepada Menteri LH, sehingga mempunyai kewenangan luas untuk mencegah terjadinya kerusakan LH.

Kedua, jika hal itu dianggap kurang sesuai dengan otda maka peneyelenggara pemerintahan daerah harus mengeluarkan perda agar Bapedalda menjadi organisasi otonom dan profesional yang tidak boleh diintervensi oleh DPRD dan kepala daerah.

Dari sisi kepala daerah, Bapedalda yang otonom dapat mencegah pejabat daerah memberikan laporan asal bapak senang (ABS) kepada kepala daerah.

Ketiga, jika DPRD kesulitan mengeluarkan perda karena harus mendapat persetujuan bersama dari kepala daerah, DPRD harus memerankan fungsinya semaksimal mungkin melaksanakan fungsi pengawasan dan pengimbangan. Antara lain melalui hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Jika ada keluahan masyarakat mengenai kerusakan lingkungan, DPRD harus segera bertindak. DPRD dibekali kewenangan kuat untuk meminta pejabat negara di tingkat daerah, badan hukum atau masyarakat memberikan keterangan tentang hal yang perlu ditangani demi kepentingan daerah, bangsa dan negara. Pihak yang diminta keterangan harus memenuhinya secara suka rela atau terpaksa (Pasal 66 dan 82 UU 22/2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD).

Jadi, jika kepala daerah tidak bisa diharapkan untuk mencegah kerusakan LH, maka DPRD harus mengimbanginya dengan melakukan langkah strategis seperti dijelaskan di atas yang sangat sesuai dengan semangat otda yang diamanatkan UUD, UU 32/2004 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Namun, jika DPRD dan kepala daerah sama-sama tidak peduli pada kerusakan LH maka terpaksa kita harus termangu dengan berbagai macam musibah yang datang silih berganti. Apakah kita semua sudah kehilangan hati nurani dan akal sehat.

e-mail: asfi_hani@plasa.com


Thursday, September 13, 2007

Memelihara Sungai: dari Hulu ke Hilir

Saturday, 01 September 2007 03:08

Kelestarian sungai, tergantung lingkungan alam khususnya hutan di hulu dan permukiman penduduk di hilir atau sepanjang sungai.

Ahmad Barjie B
Pemerhati sosial dan LH

Ada versi mengatakan, nama Kalimantan berasal dari kata ‘kali’ artinya sungai dan ‘mantan’ artinya banyak. Jadi Kalimantan berarti banyak sungai. Faktanya, di semua provinsi di Kalimantan ditemui banyak sungai, termasuk Kalsel. Sayang, sungai itu banyak yang mati, kotor, tercemar dan dikalahkan bangunan sehingga kehilangan eksistensi dan fungsinya yang selama berabad-abad menjadi sumber kehidupan penduduk dan sumberdaya hayati.

Akhir-akhir ini, Pemko Banjarmasin bersama Pemprov Kalsel giat melakukan ‘bedah sungai’. Sejumlah pihak dilibatkan, termasuk perlombaan guna membangun kembali komitmen dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya sungai, kebersihan dan kelestariannya.

Langkah proaktif Pemprov Kalsel yang ikut membenahi sungai sangat penting. Tentu akan lebih efektif jika semua provinsi melakukan hal sama. Agar diperoleh hasil optimal, diperlukan pemahaman masalah itu secara terpadu dan komprehensif disertai aksi nyata. Rusaknya sungai sangat dimensional dan tidak berdiri sendiri.

Alam dan hutan
Kelestarian sungai, tergantung lingkungan alam khususnya hutan di hulu dan permukiman penduduk di hilir atau sepanjang sungai. Kalau hutan lestari, sungainya juga lestari. Sebab, setiap pohon yang tumbuh di hutan mampu menyedot air dan mengalirkan secara perlahan melalui sungai. Pohon berdiameter satu meter sanggup menampung delapan drum air. Kalau hutan dibabat dan ribuan pohon ditebang, dapat dihitung berapa kerugiannya.

Maraknya pembalakan hutan dan penambangan batu bara, semakin mengurangi luas hutan secara drastis. Apabila pengrusakan hutan dibiarkan, mengancam kelestarian sungainya. Sebab, antara hutan dan sungai memiliki hubungan timbal balik yang tidak terpisahkan.

Nasib sungai juga dipengaruhi perilaku manusia yang hidup di sekitar dan sepanjang sungai. Manusia yang mengotori sungai dengan sampah dan limbah, membangun di bantarannya dan berbagai tindakan negatif lain yang berlawanan dengan fungsi sungai, berakibat sungai rusak dan tidak dapat lagi menyandang fungsi utamanya. Seperti sumber air bersih, sarana ekologi, irigasi, prasarana transportasi dan pariwisata.

Sungai yang rusak mendatangkan banjir. Banjir sebenarnya peristiwa alami, sementara dan terkendali. Secara ekologis, banjir adalah fenomena alam yang mengikuti Hukum Alam. Proses terjadinya banjir dapat dipikirkan dan diperkirakan berdasarkan penalaran ilmiah, serta dapat diantisipasi secara preventif berdasarkan kaidah Hukum Alam pula. Banjir begini teratur dan positif, sebab membawa kesuburan tanah.

Hutan yang rusak dan sungai yang tidak mampu menampung luapan air hujan, berakibat banjir yang merusak dan membahayakan, tidak saja bagi lahan pertanian, peternakan, permukiman bahkan harta benda dan jiwa manusia. Banjir yang terjadi selama ini di Banjarmasin dan Kalsel, adalah paduan banjir sungai dengan air laut yang pasang naik. Banjir tidak dapat lagi diprediksi dan cenderung destruktif.

Sedimensi dan orogisasi
Mujiono Abdillah yang menulis disertasi tentang sungai dalam perspektif agama menyatakan, penyebab terjadinya banjir sungai cukup banyak. Di antaranya, pertama, faktor klimatologis (iklim). Misalnya, di musim penghujan saat volume air hujan sangat tinggi melebihi daya tampung sungai. Kedua, menurunnya daya serap tanah. Meliputi rendahnya daya serap tanah terhadap air hujan yang disebabkan penutupan permukaan tanah oleh bangunan, urug, betonisasi dan sejenisnya. Serta, rendahnya kemampuan menahan air hujan karena terjadinya dehutanisasi/rusaknya hutan (deforestry). Ketiga, penipisan hutan lindung untuk keperluan perluasan lahan pertanian di daerah hulu sungai dan meningkatnya percepatan pelarian air hujan ke sungai karena gundulnya pepohonan, penebangan dan pengelupasan permukaan tanah oleh penambangan. Keempat, perubahan peruntukan daerah penampungan air sungai menjadi daerah permukiman atau lingkungan industri. Kelima, penurunan daya tampung sungai. Berupa pendangkalan palung sungai oleh sedimensi (pelumpuran), penyumbatan sungai karena sampah dan limbah padat; penyempitan palung sungai karena disfungsi aliran sungai, seperti bangunan di bantaran sungai.

Kerusakan hutan variabel terbesar banjir di Kalsel, disusul rusaknya sungai. Pakar lingkungan Otto Soemarwoto menyatakan, berkurangnya hutan berakibat air hujan yang meresap ke dalam tanah berkurang, pengisian air tanah juga berkurang. Hilangnya hutan juga berarti makin besarnya erosi dan tingginya kandungan lumpur dalam air sungai. Sedimensi yang tinggi menyebabkan air sungai keruh, tidak layak konsumsi, tidak disenangi ikan dan juga tidak menarik pariwisata. Lumpur yang mengendap di hilir dan muara sungai, menghambat kelancaran arus air sehingga risiko banjir semakin tinggi.

Bagi Kalsel, bahkan tiga provinsi lainnya di Kalimantan, telah terjadi akumulasi kerusakan: hutan rusak di daerah hulu dan sungai rusak di hilirnya. Memelihara sungai harus terpadu dengan menyasar keduanya. Menjaga kebersihan dan kelestarian sungai tidak terpisahkan dari keharusan menjaga kelestarian hutan di daerah hulu, kemudian menjaga kebersihan dan kelestarian sungai di sepanjang alirannya. Semua itu menuntut kesadaran, komitmen dan konstribusi positif semua pihak. Tidak hanya pemerintah, juga pengusaha dan masyarakat. Mahalnya harga air, tingginya kebutuhan air bersih, punahnya sebagian spesies ikan air tawar, seringnya kemacetan dan kecelakaan jalan darat, adanya kerinduan mandi dan bermain di sungai, kiranya mendorong kita kembali menghidupkan sungai.

e-mail: barjie_b@yahoo.com


Monday, September 10, 2007

Sampah Dibuang di Permukiman Warga Keluhkan Bau dan Serangan Lalat

Wednesday, 29 August 2007 22:52

BANJARBARU, BPOST - Dua bulan terakhir diam-diam armada pengangkut sampah milik Dinas Tata Kota (Distako) Banjarbaru membuang sampah ke eks tempat pembuangan akhir (TPA) yang telah ditutup di kawasan Guntung Pinang RT 47 RW 8 Trikora, Banjarbaru. Akibatnya, permukiman warga termasuk satu pesantren di sekitarnya pun terganggu.

Warga pun jengkel dan resah karena setiap hari sejak praktik pembuangan sampah itu, rumah mereka tak pelak diserbu tebaran lalat dan bau sampah. Padahal, seharusnya Distako Banjarbaru, membuang muatan sampah tersebut ke TPA Hutan Panjang, Gunung Kupang, Kecamatan Cempaka.

Pantauan BPost, ada dua titik terbaru yang menjadi sasaran penumpukan sampah oleh armada milik Distako. Satu titik di jalur Jalan Pondok Pesantren Warosatul Fukoha dan satu titik lagi paling luas hingga memakan luasan dua hektare berada sekitar 500 meter dari jalan utama Guntung Pinang.

Dua titik eks TPA yang masing-masing memakan luasan sekitar satu hektare ini berada di sebelah kiri jalan sekitar belokan menuju pondok Pesantren Warosatul Fukoha. Di titik tersebut tampak gunungan sampah yang kelihatan masih baru ditumpahkan truk sampah.

Armada sampah yang biasa masuk diyakini dari armada truk sampah Banjarbaru. "Hampir dua bulan ini truk sampah itu masuk di Guntung Pinang ini. Masuknya setiap hari. Biasanya truk sampah datang membongkar muatannya antara jam tujuh sampai jam sembilan pagi," kata seorang warga setempat minta tak dimuat namanya.

Masih menurut warga, terkadang bila sore hari, juga ditemukan truk sampah masuk yang mengangkut sampah pasar. Pagi hari kemarin (Rabu, 29/8) saja, warga melihat ada dua truk sampah yang bongkar di sini.

Warga pun menuturkan, aktivitas pembuangan sampah mengganggu santri-santri pesantren. Kesehatan mereka bisa terancam akibat bibit kuman bawaan lalat.

Menariknya, pihak Distako Banjarbaru mengaku tidak tahu pembuangan sampah ke lokasi itu. "Maaf, saya malah belum mengetahui perkembangan itu. Terima kasih atas masukannya. Secepatnya kami tindaklanjuti. TPA kan ada di Gunung Kupang kenapa membuangnya ke Guntung Pinang. Itu kan sudah lama ditutup," ucapnya.

Menanggapi keluhan itu juga, Zahedi menegaskan akan memanggil seluruh sopir armada truk sampah untuk dimintai penjelasan. Termasuk juga stafnya yang bertugas mengawasi sampah. niz


    Petambak Rusak 3.000 Hektare Hutan Bakau Setelah Gagal Ditinggalkan

    Tuesday, 28 August 2007 22:41

    KOTABARU, BPOST- Sekitar tiga ribu hektare cagar alam yang berada di Kecamatan Pulau Laut Timur rusak. Kerusakan terjadi sudah sepuluh tahun terakhir akibat pembukaan tambak dengan menghancurkan hutan bakau (mangrove).

    Setelah tidak produktif lagi, tambak ditinggalkan begitu saja tanpa rehabilitasi. Saat BPost menelusuri Sungai Berangas, menumpang speedboat, , Selasa (28/8), arus berjalan pelan karena air sungai surut. Sekitar 20 menit menelusuri sungai dangkal berair keruh, tampak beberapa habitat khas hutan bakau masih terlihat. Seperti burung bangau putih dan kepiting air payau (rajungan) berkeliaran di pinggiran sungai.

    Namun ternyata kepadatan hutan bakau tidak lebih dari 50 meter dari pinggir pantai. Kawasan yang dulunya menjadi rimbunan hutan bakau berubah menjadi hamparan tambak udang dan ikan yang sudah ditinggalkan penghuninya beberapa tahun silam.

    Camat Pulau Laut Timur Bahkrudin mencatat sedikitnya 3.000 hektare hutan bakau yang masuk dalam kawasan cagar alam rusak parah. Warga sekitar memanfaatkan hutan bakau sebagai areal budidaya tambak udang dan ikan.

    Namun, harus menebang ribuan pohon bakau terlebih dahulu. Kondisi ini sudah terjadi sejak sepuluh tahun silam. Padahal hutan bakau diyakini bisa menjadi kawasan pengembangbiakan bibit ikan dan udang. Hutan bakau bisa menjadi rumah beragam habitat seperti burung hingga kepiting.

    Luas cagar alam yang ada di kecamatan sebelah timur Kotabaru adalah 4.176 hektare. Dari tiga ribu hektare yang dibuka menjadi kawasan tambak, hingga saat ini tersisa 2.000 hektare yang masih produktif. Selebihnya ada 1.000 hektare yang rusak karena bekas tambak ditinggalkan begitu saja.

    "Itulah yang terjadi di daerah kami saat ini. Dikhawatirkan dampak jangka panjangnya akan mengganggu ekosistem di daerah sekitarnya. Karena hutan bakau keberadaannya sangat penting,"jelas Bakhrudin.dhs

    Sungai Peramuan Aman Apriji: Tak Ada Pencemaran, Hanya Tumpukan Sampah

    Radar Banjarmasin ; Selasa, 28 Agustus 2007

    BANJARBARU – Warga dan petani yang berdiam di sepanjang bantaran Sungai Peramuan tak perlu gelisah dulu dengan kabar pencemaran limbah oli. Sebab menurut hasil pemeriksaan dari Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup (Distam LH), sungai tersebut sama sekali tak tercemar.

    Sejak ada kabar tercemarnya air sungai Peramuan, petugas Distam LH langsung turun dan mengecek ke sungai. Petugas mengaku hanya menemukan adanya tumpukan sampah-sampah.

    “Pasca adanya keluhan itu, keesokan harinya langsung kita cek. Kemungkinan adanya pencemaran limbah oli terlalu dini untuk disimpulkan, apalagi hasil penelitian kita tak dapat terdeteksi adanya pencemaran,” kata Ir M Apriji, Kasi Perizinan dan Pengendalian Pencemaran Distam LH saat dikonfirmasi koran ini, kemarin.

    Disebutkan Apriji, kesimpulan tak adanya pencemaran limbah oli itu sendiri berdasarkan fakta yang ada di lapangan. Apalagi, untuk menentukan aliran sungai itu tercemar limbah oli dibutuhkan hasil penelitian yang akurat.

    Tak itu saja, sejauh ini di Banjarbaru tak ditemui limbah oli dibuang sembarangan oleh bengkel-bengkel. Ini mengingat, limbah oli ini memiliki nilai dan bisa dijual Rp1.000-Rp3.000 per liternya. Bahkan, sejauh ini di Banjarbaru sendiri ada perusahaan pengumpul oli bekas yang akan dijual lagi.

    “Saat ini tak ada lagi bengkel yang membuang limbah oli sembarang. Bayangkan saja, satu drum oli bekas saja bisa dijual mencapai Rp200 ribu. Bengkel tak susah-susah lagi menjual oli bekas, karena ada pengumpul yang mengambil ke tiap-tiap bengkel,” jelas Apriji.

    Meski tak menemukan ada pencemaran limbah oli itu, pihaknya tetap merespon keluhan yang disampaikan petani itu yang langsung ditindak lanjuti dengan turun ke lapangan.

    Menyinggung soal adanya penumpukan sampah yang menghambat aliran air sungai, tersumbatnya sampah-sampah itu diakibatkan adanya pintu air yang rusak. Meski begitu, berdasarkan informasi dari warga sekitar, nanti setelah diperbaiki permasalahan itu bisa diatasi.(mul)

    Bapedalda Ikut Teliti Merkuri

    Monday, 27 August 2007 23:26

    TANJUNG, BPOST- Kecurigaan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL PPM) soal adanya kandungan merkuri di Sungai Tabalong membuat kaget Badan Pengawas Dampak Lingkungan (Bapedalda) Tabalong. Untuk membuktikannya, Bapedalda akan ikut melakukan penelitian.

    Kepala Bapedalda Tabalong Sufianoor didampingi Kabid Wasda, Soufyanoor menyatakan belum mengetahui kebenaran dugaan tersebut. Selama ini tidak ada laporan hasil penelitian pertama yang pernah dilakukan BTKL PPM Kalseltengtim sekitar Mei 2007.

    "Kami belum amati betul kualitas airnya. Tapi mungkin akan kami tindaklanjuti juga untuk memberikan ketenangan kepada masyarakat," katanya, Senin (27/8).

    Bapedalda juga akan mengecek kebenaran adanya penambangan emas di daerah hulu yang diduga sumber pencemaran. Jika memang ada, penambangan itu tidak terdata sebagai usaha resmi.

    Soufyanoor menambahkan selama ini pihaknya menilai kualitas air Sungai Tabalong relatif baik dan aman, karena sampai sekarang masih dijadikan air baku PDAM.

    Menurutnya Bapedalda sudah melakukan pengawasan terhadap perusahaan penambangan, terutama yang mengantongi izin resmi. Namun bila ditemukan kasus pencemaran, termasuk di lokasi usaha yang tidak ada izinnya, pihaknya tetap bertindak.

    Ia mengakui sekitar Mei lalu BTKL pernah memberikan informasi melakukan penelitian. Tapi hasil penelitian dan lokasi pelaksanannya tidak pernah diberitahukan, sehingga sulit baginya mengomentari dugaan pencemaran itu.

    Kasubag Pertambangan, Sunarto mengatakan belum pernah ada izin yang dikeluarkan untuk usaha pertambangan emas. Kalaupun ada berarti ilegal atau penambangan liar.

    "Selama ini yang dikeluarkan Biro Ekonomi baru izin untuk tambang besi dan batubara. Itupun masih tahap eksplorasi," ungkapnya. Namun Sunarto mengakui pernah mendengar informasi adanya aktivitas penambangan emas rakyat secara liar, di kawasan hulu seperti di Marindi dan Kecamatan Haruai.

    Namun ia belum berani memastikan karena belum dilakukan pengecekan. Sebelumnya Kepala BTKL PPM Kalseltengtim di Banjarbaru, I Ketut Winasa mengatakan ada kecurigaan di hulu Sungai Tabalong banyak penambangan emas rakyat menggunakan merkuri. Ia khawatir logam berat itu telah mencemari badan sungai.

    Merkuri membahayakan kesehatan manusia terutama kinerja saraf tubuh, karena tetap meninggalkan residu dalam air. Jika diurai, bakteri akan berubah menjadi senyawa beracun metil merkuri (CH3 Hg). nda

    Kerusakan Saraf Ancam Warga Penambang Diduga Gunakan Merkuri

    Monday, 27 August 2007 01:29

    BANJARBARU, BPOST - Pihak yang terlibat penambangan di Kalseltengtim agar berhati-hati. Sungai-sungai di Kalsel diduga tercemar merkuri yang berdampak pada kerusakan saraf manusia.

    Teknologi Ramah Lingkungan

    Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel Berry Nahdian Furqan, merekomendasikan agar pemerintah bersikap bijak menanggapi adanya dugaan pencemaran sungai akibat penambangan emas rakyat. Salah satunya membina para penambang rakyat agar mereka mempergunakan teknologi ramah lingkungan.

    Menurutnya, memberangus penambangan rakyat bukan solusi tepat. Rakyat sudah selayaknya disejajarkan dengan para investor yang memiliki modal.

    "Rakyat juga investor," tandasnya.

    Penataan dan pembinaan menjadi jalan keluar yang tepat. Apalagi, diakui atau tidak, penambangan emas ini memberikan peran sektor ekonomi.

    Seharusnya, menurutnya, rakyat terus disadarkan bagaimana membuang limbah yang benar. Bagaimana prosesnya agar kelak, lingkungan ini tetap lestari.

    Ditambahkan Berry pemerintah juga seharusnya dapat membatasi perdagangan mercury. Langkah ini sebagai salah satu tindakan antisipasi, agar mercury tak lagi mudah didapatkan. niz

    Peringatan ini disampaikan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL PPM) Kalseltengtim.

    Kepala BTKL PPM Kalseltengtim di Banjarbaru, I Ketut Winasa mengatakan untuk menjawab kecurigaan tercemarnya sungai di Kalsel pihaknya tengah melakukan penelitian. Salah satu obyek yang diteliti yaitu Sungai Tabalong.

    "Ada kecurigaan di hulu Sungai Tabalong banyak penambangan emas rakyat menggunakan merkuri. Khawatirnya, logam berat berbahaya itu mencemari badan sungai," papar Ketut.

    Merkuri membahayakan kesehatan manusia. Jika jatuh ke air akan memunculkan reaksi lanjutan (residu) yang jika diuraikan bakteri akan menjadi senyawa beracun bernama metil mercury (CH3 Hg).

    Apabila merkuri yang jatuh ke air melalui sisa-sisa ikatan tambang emas sampai ke dasar sungai, sifatnya sudah beracun (toksin). Pada manusia, dampaknya bisa mengenai kinerja saraf tubuh sebagaimana terjadi di Buyat Sulawesi dan tragedi Minamata Jepang.

    Karenanya, pihaknya meneliti Sungai Tabalong. Badan sungai yang diduga menjadi aliran pergerakan merkuri terus diteliti kandungannya.

    Dijelaskan, ambang batas aman kandungan merkuri dalam air hanyalah 0,01 miligram. Di atas itu, sudah bisa dipastikan secara bertahap kandungan ini akan terakumulasi tingkat bahayanya bagi makhluk hidup. Salah satunya melalui rantai makanan di sekitar sungai.

    Tidak hanya di dalam air saja merkuri membahayakan. Pada saat proses pengolahan ternyata juga cukup rawan bagi kesehatan manusia.

    Mereka yang membakar emas hasil penambangan menggunakan mercury, terancam gangguan saluran pernafasan. Saat emas diolah udara yang dihirup masuk hingga menuju paru-paru.

    Ketut mengakui, dugaan serupa pernah ditindaklanjuti dengan pengamatan tak mendalam di aliran Sungai Riam Kiwa, Kabupaten Banjar beberapa tahun silam. Pemerintah setempat merespon kekhawatiran warganya akan cemaran mercuri akibat penambangan emas.

    Bagaimana dengan Riam Kanan? Ketut kembali menjelaskan pihaknya belum secara khusus melakukan penelitian di sana. Walau pernah didengarnya kawasan ini rentan pencemaran akibat penambangan emas rakyat yang menggunakan mercury. niz

    AMDAL Pelsus Ditelisik

    Sabtu, 25 Agustus 2007

    BANJARMASIN – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalsel terus memonitor pelabuhan khusus (pelsus) batubara yang beroperasi di Kalsel. Untuk itu, tim gabungan yang dibentuk Gubernur Kalsel Rudy Ariffin akan menelisik perizinan dan AMDAL seluruh pelabuhan khusus yang kini marak dibangun di Kabupaten Kotabaru, Tanah Laut, dan Tanah Bumbu.

    Pasalnya, sebagian besar pelsus itu disinyalir dalam operasinya tidak memperhatikan aspek lingkungan. “Rencananya, Senin lusa tim gabungan akan turun langsung ke lapangan,” beber Ketua Komisi AMDAL Provinsi Kalsel, Ir Rachmadi Kurdi, kepada wartawan koran ini, kemarin.

    Dijelaskannya, penelisikan tim gabungan untuk memastikan apakah pelsus-pelsus yang beroperasi di tiga kabupaten tersebut sudah sesuai ketentuan yang berlaku atau tidak. Sebab, sesuai dokumen AMDAL, jelasnya, pelsus dalam aktivitasnya tidak diperbolehkan membuang limbah batubara ke laut. “Kandungan batubara tak hanya berbahaya bagi biota laut, tapi juga dapat menyebabkan sedimentasi (pendangkalan),” ujarnya.

    Rachmadi lantas menyebutkan sejumlah zat berbahaya yang terkandung dalam vertikal batubara, seperti belerang, carbon, zat besi, dan zat berat lainnya.

    Lalu, apa sanksi bagi pelsus yang terbukti melanggar perizinan dan AMDAL? Pria yang juga menjabat sebagai Kepala Bapedalda Kalsel ini menandaskan, Komisi AMDAL bisa melakukan penyidikan sendiri, atau bisa pula melaporkan kepada aparat penegak hukum dengan tuduhan kejahatan lingkungan. “Sanksinya bisa penjara bagi orang yang terbukti melakukan kejahatan lingkungan, sedangkan pelsusnya ditutup,” tandasnya.

    Sementara itu, data pelsus dari Dishub Kalsel sebanyak 62 buah. Yakni, pelsus lokal sebanyak 20 buah, pelsus regional sebanyak 32 buah, dan pelsus nasional sebanyak 10 buah. Pelsus-pelsus tersebut tersebar di Kotabaru, Tanah Bumbu (Tanbu), Tanah Laut, dan Tapin.

    Sebelumnya, Dinas Perikanan dan Kelautan Kalsel memastikan potensi terumbu karang pada kawasan konservasi laut di Desa Bunati, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, mulai tercemar vertikal batubara. Jika tidak segera ditangani, dikhawatirkan menyebabkan kekayaan laut di kawasan itu mengalami degradasi yang parah. Padahal, jenis terumbu karang di laut Bunati memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki negara lain.

    Pencemaran tersebut terjadi di sekitar lokasi pelabuhan khusus (pelsus) milik PT Berkat Borneo Coal (BBC) yang izin operasionalnya ditutup sementara oleh Gubernur Kalsel H Rudy Ariffin, beberapa waktu lalu.(sga)


    Air Sungai Tercemar Bakteri Coli

    Saturday, 25 August 2007 00:56:39

    BANJARMASIN, BPOST - Direktur Perusahaan Daerah Instalasi Pengolahan Air Limbah (PD Ipal) Kota Banjarmasin, Muhidin MT mengakui sanitasi di lingkungan Kota Banjarmasin sudah pada tarap yang mengkhawatirkan.

    Hampir semua air sungai dan air lingkungan permukiman penduduk tercemar tinja manusia. Menurutnya, itu tak lepas dari kebiasaan warga yang membuang tinja langsung ke sungai.

    Ditemui wartawan di sela-sela peringatan setahun berdirinya PD Ipal di Banjarmasin, Jumat (24/8), Muhidin menyebutkan akibat pencemaran tinja maka air lingkungan Banjarmasin tidak sehat, karena tinja mengandung bakteri coli.

    Selain itu, kondisi septic tank (tempat penampungan tinja) atau kakus rumah-rumah penduduk di Banjarmasin juga kebanyakan dibuat tidak standar. Akibatnya, tinja mencemari air di sekitar kakus dan mengalir kemana-mana.

    Bukan hanya pencemaran tinja yang relatif tinggi di sungai-sungai Banjarmasin. Menurutnya, pencemaran air limbah rumah tangga juga tinggi. Itu belum ditambah pencemaran industri yang akhirnya membuat air Kota Banjarmasin sudah tidak sehat lagi.

    Oleh karena itu, Pemko Banjarmasin mendirikan PD Ipal ini maksudnya untuk mencegah pencemaran air kemudian diolah hingga bersih agar lingkungan juga bersih.

    Menyinggung kondisi PD Ipal yang sudah berdiri sejak setahun, ia menyebutkan cukup menggembirakan. Itu karena sudah memiliki dua titik lokasi pengolahan air limbah yang berkapasitas 500 meterkubik (M3)r per hari.ant

    Sunday, September 09, 2007

    Warga Sungai Pinang Berburu Air Takut Minum Air Sungai

    Thursday, 23 August 2007 01:34

    MARTAPURA, BPOST - Warga Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar mulai berburu air. Sumber air, termasuk sumur gali sudah mulai banyak yang mengering. Di kecamatan ini ada satu sungai yang airnya melimpah, tapi warga tak berani mengonsumsi karena keruh dan tercemar bekas penambangan emas.

    Triyono, seorang guru SD Dadap Belimbing Sungai Pinang mengatakan, pambakal (kades) setempat sudah meminta warga mencari sumber air alternatif.

    "Pambakal sudah menginstruksikan kepada seluruh masyarakat, terutama yang sering masuk hutan untuk mencari sumber air baru. Jika ada, akan diambil airnya untuk keperluan sehari-hari dalam jangka panjang," kata Triyono.

    Menurutnya, di desanya ada sungai Pamuatan yang terkenal tidak pernah kering. Tapi warga tidak berani mengambil air sungai selebar enam meter ini untuk memasak dan minum karena airnya selalu keruh dan mengandung merkuri.

    Sungai Pamuatan ini sudah sejak tahun 1950-an digunakan sebagai tempat penambangan emas dan intan. Penambangan oleh ratusan warga di RT 4,5 dan 6 Dusun Dadap ini, sudah ada yang menggunakan mesin, tapi masih banyak yang manual.

    "Sebetulnya sumber air Sungai Pamuatan tak pernah kering, tapi warga takut karena mengandung banyak merkuri dan selalu keruh. Warga hanya menggunakannya untuk mencuci pakaian saja," kata Triyono.

    Triyono menjelaskan, musim kemarau tahun lalu, masyarakat sangat kesulitan air bersih. Beberapa sungai kecil sekitarnya banyak yang kering. Begitu juga dengan sumur gali, airnya banyak yang kering.

    Bahkan, beberapa sumur gali yang ada di desa ini, airnya mengandung zat besi (Fe) dalam kadar yang tinggi, sehingga baunya seperti besi karatan saat diminum.

    Beberapa waktu lalu, warga menemukan sumber air dari sungai Hapi, dua kilometer dari desa. Sungai itu, kini sudah dibendung dan airnya dialirkan ke desa, menggunakan pipa paralon. Air sungai ini cukup jernih. Diperkirakan, tak mengandung logam berbahaya karena jauh dari lokasi penambangan.

    "Setelah dibendung, kini airnya sudah setinggi satu meter lebih. Diperkirakan, ini bisa sedikit mengatasi kesulitan air warga. Kami, kini masih mencari sumber air baru, terutama dalam hutan," jelasnya.

    Pemerintah desa setempat juga sudah memprogramkan sungai Maniatang. Kini, sungai ini sudah mulai dipasang pipa. Jaraknya empat kilometer dari Desa Belimbing. "Kemungkinan besar tahun ini sungai ini berhasil dialirkan ke desa," kata Triyono. sig

    Bakar Lahan Harus Giliran

    Tuesday, 21 August 2007 01:32

    KANDANGAN, BPOST - Mengantisipasi kebakaran lahan dan hutan meluas pada musim kemarau, warga Desa Lumpangi, Kecamatan Loksado membuat aturan membakar lahan, yaitu secara bergiliran dengan warga lain.

    Cara ini agar asap yang ditimbulkan tidak terlalu tebal dan memudahkan pengawasan, sehingga kebakaran hanya terjadi pada areal yang dibakar. Kepala Desa Lumpangi, Deryansyah menuturkan, cara ini sudah lama diterapkan warga.

    "Kita semua sudah sepakat, jika warga mau membakar lahannya lebih dulu diberi pembatas dari lahan sekitarnya," kata Deryansyah, ditemui disela pelatihan bimbingan teknik pengendalian kebakaran hutan dan lahan di gedung olahraga Desa Lumpangi RT II, Senin (20/8).

    Menurutnya, aktivitas membakar lahan tiap tahun dilakukan warga yang ingin menanam padi. Saat ini, lanjutnya, warga sudah mulai manabas (membersihkan) lahan, namun belum ada yang membakar.

    "Biasanya pembakaran baru ramai September nanti. Kami memberlakukan aturan membakar bergantian, dengan jadwal yang akan kami atur. Setiap warga lebih dulu menghubungi warga lain yang mempunyai lahan di sekitarnya. Jadi saat lahan terbakar mereka sama-sama ikut menjaga dan kira-kira butuh waktu satu jam," imbuhnya.

    Denda akan diberlakukan jika warga sengaja membakar lahan dengan merugikan warga lain. "Kalau tahun lalu ada warga yang bayar denda sampai Rp 500 ribu, karena lahan yang dibakar merembet ke kebun warga lain yang pohonnya berumur enam bulan hingga tiga tahun,"katanya.

    Untuk pohon karet sebesar lengan, dendanya Rp 5 ribu, sedangkan denda pohon karet sebesar paha orang dewasa Rp 20 ribu. Bukhori, warga Desa Lumpangi, mengatakan, selain tanaman karet, warga setempat pada tiap tahun juga menanam padi.

    "Kami menanam padi di lereng-lereng bukit yang tidak ditanami pohon karet. Biasanya setelah kita tabas, (tebang) rumput dan pepohonan ukuran kecil kita bakar semua, setelah itu baru kita tugal (tanami) padi," katanya. ck2

    Ratusan Hektare Sawah Rusak Akibat Masuknya Air Laut di Lahan Pertanian

    Senin, 20 Agustus 2007

    BANJARMASIN – Para petani di sejumlah kabupaten di Kalsel terancam merugi, menyusul mulai naiknya air laut ke areal persawahan. Fenomena alam yang dapat membuat produksi padi turun drastis tersebut mulai mengancam Kecamatan Aluhaluh (Kabupaten Banjar), Kintap (Kabupaten Tala), dan Tabunganen (Batola).

    “Air laut datangnya lebih cepat dan mulai naik di areal persawahan warga. Kondisi ini bisa merusak padi yang akhirnya berpengaruh terhadap produksi,” ujar Kepala Bapedalda Kalsel Ir Rachmadi Kurdi, kemarin.

    Rachmadi menambahkan, informasi tersebut sebagai peringatan kepada petani, khususnya yang areal persawahannya berada di kawasan itu.

    Sementara itu, di Desa Sungai Musang, Kabupaten Banjar, ratusan hektare sawah telah rusak akibat masuknya air laut tersebut. “Sebagian besar produksi padi kami rusak. Bayangkan, dari 40 blek padi, hanya 10 blek saja yang bagus,” ujar Surah, salah seorang petani di Sei Musang, Kabupaten Banjar, kemarin.

    Karena takut padi yang lain juga rusak, sambungnya, maka petani terpaksa melakukan panen dini. Selain itu, petani juga khawatir tidak bisa tanam, sehingga memilih tidak menjual padi, tapi menyimpannya untuk dikonsumsi sendiri selama setahun. “Produksi padi kali ini turun lebih dari 50 persen dari tahun lalu. Karenanya, sebagian besar petani tidak menjualnya tapi disimpan untuk dikonsumsi sendiri untuk persiapan setahun,” ungkapnya.

    Secara terpisah, Kepala Divisi Regional Bulog Banjarmasin Fadli Muin menyatakan, turunnya produksi padi di Desa Sungai Musang, Kabupaten Banjar, tidak menganggu rencana penghimpunan gabah kering giling (GKG) Bulog pada tahun 2007 ini. Alasannya, padi yang di tanam di sana (Kabupaten Banjar) adalah jenis lokal bukan jenis yang biasanya dibeli oleh Bulog. “Jenis padi yang ditanam di Kabupaten Banjar rata-rata adalah jenis unus yang harganya lebih mahal dari padi untuk stock Bulog. Oleh sebab itu, tidak ada pengaruhnya dengan rencana penghimpunan yang tengah dilakukan Bulog,” pungkasnya.(sga)


    Perda Kebakaran Tunggu Provinsi

    Friday, 17 August 2007 23:44

    KANDANGAN, BPOST- Meski sebagian masyarakat pada musim kemarau memberlakukan peraturan sendiri terhadap pelaku pembakar lahan, Bupati Hulu Sungai Selatan, H Muhammad Safii menyatakan tak segera membuat perda.

    Alasannya, pihaknya masih menunggu perda pembakaran yang dibuat Pemprov Kalsel yang kini masih digodok. Selain itu, kebakaran maupun pembakaran di wilayah HSS kata bupati tak separah daerah lainnya.

    Sampai kini tak ada hutan dan lahan yang terbakar. Namun perda tersebut tetap menjadi bahan pemikiran. "Yang jelas kita masih menunggu hasil pembahasan raperda dari propinsi dulu. Asap tiap musim kemarau di HSS itu kiriman, bukan dari hasil pembakaran di daerah kita ini,"kata Safii, ditemui usai menghadiri upacara detik-detik proklamasi di Lapangan Lambung Mangkurat, Jumat (17/8).

    Di HSS, saat musim kemarau, petani biasanya membersihkan lahan untuk menanam buah-buahan dan sayuran di lahan bekas tanaman padinya. Mereka menanam semangka. "Jerami yang kering tetap dibersihkan lalu disusun dan itu tidak dibakar,"kata Safii.

    Ketua DPRD HSS, Ardiansyah berpendapat, perda pembakaran lahan sebaiknya diberlakukan agar masyarakat tak membuat aturan sendiri. "Memang sudah ada rencana, tapi masih belum dibahas di DPRD," katanya.

    Pemantauan BPost, ratusan hektare bekas tanaman padi atau jerami sepanjang Jalan Jendral Sudirman mulai dari bundaran hingga perbatasan Kabupaten Rantau terlihat mulai mengering.

    Pemandangan ini juga tampak di Desa Malutu, Kecamatan Padang Batung, sekitar 15 Km dari Kota Kandangan. Tak sedikit dedaunan tanaman perkebunan seperti karet di daerah tersebut berjatuhan karena kering. ck2


    Kelaparan di Kampung Petani Oleh: M Rifqinizamy Karsayuda Staf Pengajar FH Unlam

    Friday, 17 August 2007 01:15

    Beberapa hari lalu dalam sebuah seminar di hotel berbintang empat di Banjarmasin, seorang pejabat Pemprov Kalsel yang kala itu mewakili Gubernur Kalsel menyebutkan jumlah penduduk miskin di provinsi ini sebanyak 971.000 jiwa, atau setara dengan 31,22 persen dari seluruh penduduk provinsi ini.

    Angka kemiskinan yang disebutkan pejabat itu membuat saya dan beberapa rekan yang hadir dalam seminar tersebut, mengelus dada. Lantaran, di saat yang bersamaan dipresentasikan perihal kekayaan SDA Kalsel yang telah diekploitasi perusahaan besar, utamanya di sektor pertambangan.

    Hal ini diperparah dengan data indek pembangunan manusia (IPM) yang dikeluarkan BPS pada 2007. Data itu menempatkan IPM Kalsel pada urutan 26 dari 33 provinsi di Indonesia. Sebagai perbandingan, Kalteng berada di posisi 5 dan Kaltim 6. IPM disusun dengan memperhatikan tiga hal: tingkat pendidikan, kesehatan dan indeks daya beli penduduk di setiap provinsi.

    Data tersebut membuat kita bertanya, mengapa kita tak tersejahterakan oleh limpahan SDA yang bersemanyam di perut Bumi Kalsel? Kita bak (terus) kelaparan di tengah kampung petani. Satu pertanyaan yang tak pernah menemukan jawabannya sampai 57 tahun usia provinsi ini. Inilah pekerjaan rumah (PR) terbesar kita saat ini, termasuk pimpinan daerah yang diberikan amanah langsung oleh Rakyat Kalsel pada Pilkada 2005 lalu.

    Menata Kebijakan

    Tidak adanya korelasi positif antara potensi dan kekayaan SDA Kalsel dengan kesejahteraan manusianya, adalah persoalan akut yang harus segera diselesaikan.

    Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan pimpinan daerah dalam menjawab persoalan ini. Pertama, menetralisasi kebijakan yang ‘dipengaruhi’ atau rentan ‘dicitrakan ditunggangi’ oleh kepentingan pengusaha dan mengangkangi rakyat. Seperti diperbolehkannya angkutan batu bara melalui jalan umum adalah kebijakan yang harus segera dihentikan. Kebijakan semacam ini jika terus dipelihara akan membuat antipati publik terhadap ekploitasi SDA. Dalam kajian Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara, kebijakan demikian dapat mengindikasikan adanya discrecionary corruption (korupsi diskresi). Yaitu, korupsi (penyalahgunaan) yang dilakukan melalui kebijakan yang dimiliki aparatur negara.

    Kedua, menata kebijakan yang berkaitan dengan eksplotasi SDA di Kalsel. Sebagai contoh, penataan terhadap program community development (CD) yang merupakan break down dari kewajiban perusahaan dalam konteks corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan). Penataan kebijakan tentang CD secara lebih rinci dan tegas idealnya diambil oleh Pemda Kalsel dengan cara mengeluarkan kebijakan regulasi, semacam perda. Langkah berani untuk segera menyusun perangkat hukum yang mengatur persoalan ini, jika dilakukan sungguh-sungguh akan berakibat pada peningkatan harkat hidup masyarakat Kalsel yang saat ini ‘terkepung’ oleh banyaknya perusahaan.

    Ketiga, mengemplementasikan nilai good governance (GG) dalam pelayanan publik. Sebagai provinsi yang menjadi percontohan pelaksanaan GG di Indonesia, Kalsel sedapat mungkin menerapkan nilai GG, minimal di level pemerintahan. Pungutan liar, pemberian fee pada setiap proyek pemerintah dan berbagai ‘budaya’ birokrasi yang bertentangan dengan GG seharusnya telah lenyap dari tubuh birokrasi di Kalsel. Sebagaimana diketahui, PAD Kalsel baru mencapai Rp 1,2 triliun, di mana Rp 500 miliar merupakan dana alokasi umum yang dikucurkan pusat. Itu berarti, hanya ada sekitar Rp 700 miliar yang dihasilkan Kalsel sendiri. Suatu pencapaian yang tak menggembirakan pada usia 57 tahun keberadaan provinsi ini.

    Penataan kebijakan perlu segera dilakukan oleh pimpinan daerah yang memegang otoritas atas hal itu. Kalsel saat ini membutuhkan pemimpin daerah yang bukan hanya ‘terpanggil’ untuk memimpin, namun berani memimpin pada saat kepemimpinan itu diamanahkan kepadanya. Pemimpin yang baik, tak akan pernah membiarkan banua ini ‘kelaparan di kampung petani’. Kita pun harusnya tak pernah rela ‘termiskinkan’ oleh diri kita sendiri. Selamat HUT Kalsel!

    e-mail: rechtolog@yahoo.com