Label Cloud

Friday, January 26, 2007

Menembus Pedalaman Kalimantan

Jumat, 19 Januari 2007
M Syaifullah

Bagi kebanyakan orang, bertualang menyusuri jalan rusak, sungai tanpa jembatan, dan juga liarnya hutan, serta kesunyian malam, mungkin tidak menarik. Tapi, kalau perjalanan itu dilakukan berombongan, mungkin saja bisa menyenangkan.

Sebanyak 45 orang yang tergabung dalam komunitas Funtrip 2 Volcano melakukan perjalanan yang berani di Kalimantan selama sepekan pada awal Desember lalu. Meski kebanyakan tidak pernah ke pulau ini, mereka tidak takut merintis wisata alam dan petualangan melintasi tiga provinsi: Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng), dan Kalimantan Selatan (Kalsel).

Profesi peserta beragam. Ada eksekutif muda, pengusaha, penggemar wisata alam, atau fotografer. Mereka memulai perjalanan ini dari Pontianak.

Kedatangan rombongan dari Jakarta ini tentu saja menggembirakan. Sebab, beberapa bulan sebelumnya citra wilayah ini buruk karena dibalut asap pekat akibat kebakaran hutan dan lahan. Cuaca inilah yang paling memukul sektor wisata alam Kalimantan.

Saat ada tawaran wisata perjalanan sejauh 1.600 kilometer lebih, mereka antusias menyambutnya. "Ke pedalaman Kalimantan sendirian barangkali sulit dilakukan. Sangat menyenangkan pergi bersama seperti ini," kata Diah Kusama Dewi, Humas Internal PT Indosat.

Bagi komunitas ini, kabar tentang serbuan asap, serta hebatnya kebakaran hutan dan lahan, bukanlah halangan untuk datang ke Kalimantan. Apalagi empat bulan sebelumnya jalan dan sungai yang akan dilewati sudah disurvei.

Bekerja sama dengan pemerintah daerah dan perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) setempat, komunitas Funtrip 2 Volcano dan Regulo Rafting sepakat menjelajahi keindahan pedalaman Kalimantan dengan nama "Funtrip 2 The Heart of Borneo: from West, Central, and South Borneo".

Peserta wisata tidak hanya kalangan muda, tetapi juga ada anak berusia enam tahun dan orang tua 61 tahun. Untuk keselamatan, semuanya sudah mendapat fasilitas asuransi jiwa.

Tenaga medis juga disertakan dalam perjalanan. Peserta juga diminta membawa obat-obatan pribadi dan meminum obat malaria. Dua rumah sakit setempat disiapkan menjadi rujukan untuk kondisi darurat.

Mengasyikkan

Perjalanan wisata tidak langsung masuk hutan atau kampung Dayak. Di Pontianak, rombongan terlebih dahulu mengunjungi rumah betang Dayak dan rumah adat Melayu, serta Tugu Khatulistiwa.

Di Singkawang, selain melihat kehidupan masyarakat China dan budaya setempat, rombongan juga menyaksikan matahari tenggelam di pantai Pasir Panjang. Keindahan senja itu menjadi menakjubkan karena bersamaan dengan munculnya pelangi di langit Singkawang.

Dari Singkawang, rombongan menggunakan bus menuju Nanga Pinoh, ibu kota Kabupaten Melawi. Kota ini merupakan kota terakhir di Kalbar yang bisa dilewati bus sebelum masuk ke wilayah Kalteng.

Perjalanan sejauh 500 km lebih itu dilakukan pada malam hari dengan harapan bisa tiba di Nanga Pinoh pagi hari. Tapi, ternyata rombongan baru sampai pada siang hari.

Perjalanan selanjutnya menembus hutan Pegunungan Schwaner di perbatasan Kalbar- Kalteng dilakukan dengan perahu motor melalui Sungai Melawi ke arah Kecamatan Ella Hilir. Hambatan terjadi ketika perahu yang ditumpangi para peserta plus ranselnya yang rata-rata berukuran 90 liter ternyata tidak mampu melaju cepat. Air masuk pada bagian depan dan belakang perahu. Terpaksa si tukang perahu (biasa disebut motoris) dan satu awaknya harus menguras air tanpa berhenti.

Akibatnya, waktu tempuh yang mestinya tiga jam molor sehingga baru pada malam hari tiba di dermaga penampungan kayu milik PT Sari Bumi Kusuma (SBK).

Budi Zakaria, pengusaha dari Jakarta, mengungkapkan, kalau pelayanan pelayaran yang bagus dan sungai-sungai di Kalimantan seperti Sungai Melawi bisa dipertahankan kelestariannya, seharusnya bisa dibuat paket-paket wisata sungai seperti di Thailand.

Keterlambatan perjalanan sungai menyebabkan batalnya trekking pertama memasuki hutan di daerah penyangga Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya yang menjadi habitat beruang, rusa, owa-owa atau kelampiau, dan orangutan. "Masuk hutan dibatalkan karena khawatir bakal terlambat di lokasi wisata berikutnya," kata Budi Yakin, pimpinan penyelenggara wisata perjalanan ini.

Meskipun demikian, para peserta terhibur setelah diberi kesempatan mengambil foto indahnya kelebatan hutan hujan tropis basah di taman nasional itu di Tumbang Kajambei.

Perjalanan selanjutnya menggunakan truk dan mobil bak terbuka milik perusahaan memasuki areal HPH di wilayah Kalteng hingga tiba di Desa Sanaman. Desa ini sebenarnya memiliki tempat penguburan warga Dayak yang khas. Namun, melihat obyek budaya ini tidak bisa lama karena harus pindah kendaraan dan melanjutkan perjalanan lagi dengan perahu long boat ke Desa Penda Tanggaring.

Perjalanan kali ini cukup melegakan peserta karena tersedia empat perahu bermesin mobil colt L300. Masing-masing perahu dilengkapi hiburan musik. Tak heran bila perjalanan di Sungai Katingan begitu ramai. Tidak bosan-bosannya para peserta menikmati barisan pohon durian yang berbuah lebat di tepian sungai.

Obyek wisata yang dituju bukanlah desa itu, melainkan Desa Tumbang Gagu yang masih punya rumah betang (rumah adat Dayak) berumur 130 tahun. Sayangnya, rombongan baru tiba larut malam karena harus berjalan kaki selama tiga jam dari sungai. Meski begitu, mereka tetap disambut hangat dengan tari-tarian Dayak. Rasa capai dan lelah pun seperti terobati.

Sebelum melanjutkan perjalanan pada pagi harinya, peserta terlebih dahulu memotong pantang, berupa pohon dengan mandau. Pemotongan dilakukan bergantian sampai pohon putus, sebagai tanda tamu telah diterima masyarakat adat dan terbebas dari roh-roh jahat.

Dengan perahu yang sama, perjalanan dilanjutkan ke Tumbang Heran. Dari sana, perjalanan dilanjutkan dengan naik dump truck selama 1,5 jam menuju rumah betang Bintang Patendu, yang didirikan seniman Dayak, Saer Sua, di Tumbang Manggu.

Di rumah betang inilah rasa lelah berakhir. Selain disuguhi aneka makanan khas Dayak, rombongan juga dihibur dengan musik tradisional dan tarian Dayak. Rombongan pun larut sepanjang malam dengan ikut manasai (menari).

Setelah belajar menyumpit dari Saer Sua dan berfoto mengenakan pakaian Dayak, perjalanan dilanjutkan ke Kasongan, ibu kota Kabupaten Katingan. Sebelum menuju ke Palangkaraya dan Banjarmasin, Pemerintah Kabupaten Kasongan melepas rombongan dengan tarian di Tugu Batu Cilik Riwut.

Perlu perbaikan

Dalam perjalanan naik bus dari Kasongan ke Palangkaraya, lalu Banjarmasin, rombongan mulai lega terbebas dari kelelahan akibat perjalanan panjang. Sejumlah peserta menyatakan kecewa karena batal ke pusat rehabilitasi orangutan di Nyaru Menteng. Di Banjarmasin, rombongan juga batal ke pasar terapung akibat lamanya perbaikan bus.

"Kami harus akui, sebagai rintisan awal memang ada beberapa kelemahan dalam wisata perjalanan ini. Berbagai kekurangan itu menjadi masukan yang sangat berharga, selain untuk perjalanan wisata berikutnya di pulau ini, juga di daerah lainnya di Tanah Air," kata Bleem Sudaryanto selaku pimpinan perjalanan.

Terlepas dari berbagai kelemahan, perjalanan wisata menembus pedalaman Kalimantan ini bisa didorong untuk menghidupkan wisata alam Kalimantan yang masih terpuruk. Kini, tugas para pelaku wisata alam dan pemerintah setempat untuk terus belajar dan mengasah kemampuan untuk semakin profesional.

No comments: