Label Cloud

Friday, February 16, 2007

Belajar Dari PP 37/2006

Kamis, 11 Januari 2007 01:01


--------------------------------------------------------------------------------

PEMERINTAH kita seperti tak habis-habisnya dirundung malang. Kritik terhadap kebijakan pemerintah tak pernah henti, sementara itu demo dari berbagai kalangan masyarakat juga terus silih berganti.

Terakhir adalah kritik tajam dari kalangan tokoh nasional berkaitan munculnya Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2006 yang mengatur alokasi dana tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional anggota DPRD, yang berujung pendapatan anggota DPRD membengkak tajam.

Protes disampaikan mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal (Pur) Tyasno Sudarto di Jakarta. Ia minta PP itu dicabut, karena tunjangan itu menyakiti hati rakyat yang hidupnya masih sengsara.

Jenderal Tyasno Sudarto sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian banyak orang yang keberatan terhadap diterbitkannya PP tersebut. Mereka umumnya menilai, dengan PP itu pendapatan anggota DPRD tidak proporsional lagi dibanding tugasnya.

Bayangkan, seorang Ketua DPRD provinsi, seperti dikutip Media Indonesia bisa menerima Rp36 juta lebih sebulan, lebih tinggi dari pendapatan Ketua Mahkamah Agung atau Ketua Badan Pemeriksa Keungan.

Sementara gaji gubernur hanya Rp8 juta, bupati Rp5 juta lebih. Lebih menyakitkan, PP itu berlaku surut satu tahun sebelumnya, sehingga anggota DPRD benar-benar panen sementara rakyatnya menderita.

Banyak macam keberatan yang disampaikan masyarakat. Dalam acara talk show di sebuah stasiun televisi swasta, penanya dari seberang melalui telepon umumnya meminta agar DPR/DPRD dibubarkan. Memang tidak mungkin, karena kehadiran DPR/DPRD adalah perintah konstitusi.

Kita berpendapat, berbagai nada miring terhadap wakil rakyat itu sesungguhnya hanyalah ungkapan kekecewaan terhadap keputusan pemerintah yang tidak menyelami kesulitan rakyatnya. Seperti bertambahnya jumlah penganggur, naiknya harga beras, terjadinya bencana alam, kasus lumpur Lapindo dll. Belum lagi kesedihan atas berbagai kecelakaan transportasi udara, laut maupun kereta api yang terus beruntun.

Bagi kita, penaikan pendapatan untuk wakil rakyat sebenarnya hal yang wajar saja sepanjang itu sesuai dengan kontribusi dan perjuangan anggota DPRD dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan tidak memberatkan keuangan daerah. Bisa dibayangkan, betapa besar uang yang harus dikeluarkan oleh pemerintah provinsi/kabupaten dan kota untuk menutup tambahan penghasilan itu.

Gubernur/bupati pastilah tidak akan berani mengingkari PP yang ditandatangani presiden, karena ancaman bisa muncul dari DPRD manakala hak anggotanya tidak dibayarkan. Upaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah tidak akan bisa dirasakan rakyat, karena tersedot untuk penghasilan anggota dewan.

Kalau kita bicara soal kontribusi wakil rakyat kepada rakyat, kita kembalikan pertanyaan kepada wakil rakyat yang terhormat: layakkah dalam situasi seperti sekarang anggota DPRD mendapat pengasilan berlebih seperti yang tertuang dalam PP No 37/2006? Bukankah berbagai tunjangan yang diterima selama ini sudah lebih dari cukup? Jika hati nurani mereka menyatakan tidak layak, tentu tak akan mengambil uang itu seperti yang terjadi pada anggota DPRD Purbalingga (Jawa Tengah). Tetapi jika mereka menganggap layak, biarlah rakyat yang menilai.

Kita tidak serta merta menyalahkan DPRD yang menerima rezeki nomplok itu. Yang lebih kita sesali adalah kebijakan pemerintah dalam mengeluarkan PP tersebut. Pemerintah ternyata tidak peka, tidak tanggap atau pemerintah tidak berani menghadapi tekanan.

Permintaan Presiden kepada Menteri Dalam Negeri agar meneliti kembali PP tersebut menunjukkan ketidaktegasan pemerintah, kalau tidak boleh dibilang lemah atau ragu-ragu. Jangan heran jika setiap menjelang pemilu orang berlomba membuat partai, karena dengan begitu bisa mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Tidak dijelaskan pun, orang tahu apa tujuan utamanya.

Kebijakan itu juga bisa berdampak psikologis yang kurang baik terhadap aparat pemerintah lain yang penghasilannya hanya pas-pasan, seperti pegawai negeri sipil (PNS), TNI, Polri dan perangkat lain. Kita berharap pemerintah semakin dewasa, bisa mengoreksi diri dan mendengarkan aspirasi dari bawah.

Masih ada yang lebih penting untuk segera ditangani. Antara lain mencukupi kebutuhan pangan, menangani korban bencana alam dan mendorong segera dituntaskannya ganti rugi atas tanah yang terendam lumpur Lapindo di Sidoarjo. PP 37/2006 hanyalah salah satu dari kebijakan yang mengecewakan rakyat. Pemerintah harus mau belajar dari pengalaman ini.


--------------------------------------------------------------------------------



Copyright © 2003 Banjarmasin Post

No comments: