Label Cloud

Friday, November 10, 2006

Warga Konsumsi Air Eks Tambang

Sabtu, 07 Oktober 2006
Banjarmasin, Kompas - Berbagai gejala kekeringan melanda sejumlah daerah menyusul musim kemarau yang belum berakhir. Warga sejumlah desa di Kabupaten Balangan, Kalimantan, sebulan terakhir ini, terpaksa mengonsumsi air dari kolam-kolam bekas tambang batu bara PT Bantala Coal Mining.

Warga Ambiyang, Piyait, dan Tundakan di Kecamatan Awayan itu harus berjalan dua kilometer untuk mencapai kolam bekas tambang tersebut. Mereka tidak peduli akan kebersihan dan keamanan air di kolam-kolam itu.

Air itu dipakai untuk minum, masak, mandi, dan mencuci karena sungai dan sumur yang ada di desa itu kering kerontang. "Kami sudah melaporkan ini kepada Bupati Balangan," kata Hamsi, warga Ambiyang, Jumat (6/10).

Bupati Balangan Seffek Effendi mengatakan, pemerintah kabupaten tengah menyiapkan bantuan berupa bak penampung air. Air bersih akan dipasok dari Perusahaan Daerah Air Minum Balangan dengan truk tangki.

"Untuk jangka panjang, kami akan memberikan penambahan pipa pompa air agar tak perlu mengambil air dari lubang bekas tambang," ujar Seffek. Krisis air juga terjadi di pinggir Kecamatan Paringin. Warga membeli air bersih dari PDAM Rp 40.000-Rp 50.000 per tangki isi 3.000 liter.

Di Banjarmasin, butuh dana Rp 32 miliar untuk membuat waduk penampung air dan membuat jaringan pipa. Saat ini, 15.000 calon pelanggan belum terlayani air bersih dari PDAM Bandarmasih, Banjarmasin.

Direktur Umum Bandarmasih, Zainal Arifin, mengatakan, dana diharapkan bersumber dari PDAM, bantuan APBN, APBD Kalsel, dan APBD Banjarmasin. "Di kedua kelurahan itu kondisi air Muara Sungai Barito (yang diandalkan warga) juga tak layak karena terintrusi air laut," katanya. Selama kemarau ini, lanjut Zainal, hanya satu pipa pengambilan air baku (intake) milik Bandarmasih yang dimatikan, karena air Sungai Martapura kadar garamnya tinggi sekali. Ada dua intake untuk pengolah air.

Sementara itu di Kalimantan Barat, Sungai Kapuas surut sehingga angkutan sungai tidak bisa mencapai daerah hulu. Penduduk kota Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, hanya dapat mengandalkan perahu kecil.

Kompas mencatat, Sungai Kapuas juga surut pada awal kemarau. Pertengahan September debit air sempat normal karena hujan kerap turun. "Masyarakat Putussibau bisa bermain bola di tepian Kapuas. Warga beramai-ramai mandi di sungai," kata Kamin. Dalam kondisi normal, lebar sungai Kapuas 200 meter. Kini mereka bisa jalan kaki di atasnya. Selain kering, kini kabut asap juga menyelimuti sungai.

Kompleks Danau Sentarum—ada sekitar 30 danau kecil—juga surut airnya. Sentarum terletak sekitar 700 km timur laut Pontianak. Peneliti Center For International Forestry Research (CIFOR), Elizabeth Linda menginformasikan, kedalaman danau tinggal empat meter dari antara 8-10 meter saat normal. Danau ini menyerap 25 persen air Sungai Kapuas dan di musim kemarau, 50 persen air Sungai Kapuas berasal dari Sentarum.

Hampir kering

Air di sumber air dalam goa di Dusun Tlagawarak, Desa Giripurwo, Kecamatan Purwosari,Kabupaten Wonogiri kini makin susut karena makin banyak warga yang mengambil air akibat kemarau panjang. Sumber air Goa Pego yang biasanya sedalam satu meter kini dalamnya tinggal setengah mata kaki.

Untuk mengisi satu jeriken 30 liter, butuh waktu sekitar 30 menit. Warga kini terpaksa membeli pada penjual air tangki keliling, dan andalkan bantuan donatur.

"Dulu kami masih bisa mengambil tiga hingga empat jeriken air sehari. Tapi, karena semakin banyak warga yang butuh, air semakin susut," kata Ngadilah, warga Kamis (5/10). Untuk mengambil air dia harus antre sekitar tiga jam. Kondisi serupa terjadi di mata air Goa Kaligede, Dusun Gubar, Desa Giripurwo.

Sabtu (7/10) ini, Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul akan mendistribusikan bantuan air gratis tahap dua kepada masyarakat yang kekeringan, golongan ekonomi lemah. Melalui APBD Perubahan Tingkat II, anggaran bantuan air gratis bagi warga tak mampu sekitar Rp 1,2 miliar.

Pascagempa, 41 desa menjadi kawasan baru rawan kekeringan, setelah sebelumnya selalu terjadi di ratusan desa pada 11 kecamatan. Wilayah baru kekeringan, seperti di Kecamatan Patuk, makin mengkhawatirkan.

Sementara di Kabupaten Purwakarta, kerugian akibat keringnya sawah sekitar Rp 1,681 miliar—dari biaya produksi yang terlanjur keluar. (FUL/RYO/MKN/ITA)

No comments: