Monday, 03 September 2007 01:49
Oleh: Ir H Asfihani
Anggota Komisi VII DPR RI Dapil Kalsel
Kerusakan lingkungan hidup (LH) di daerah yang penuh pertambangan seperti di Kalsel, tidak hanya dirasakan masyarakat atau LSM. Tapi juga dirasakan kalangan birokrasi pemerintahan sendiri. Laporan Suku Dinas Badan Pengendalian Dampak Lingkungan sebuah kabupaten di Kalsel dan hasil penelitian resmi Kementerian LH yang menyatakan pemegang Kuasa Pertambangan (KP) dan Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), menjadi sumber kerusakan LH dengan segala dampak negatifnya yang sudah dirasakan masyarakat.
Persoalannya, kalau birokrasi pemerintahan merasakan bau tidak sedap, kenapa kerusakan LH itu terus dibiarkan berlanjut? Sudah pasti, mendapat pertanyaan itu masyarakat memberi jawaban pintas: "Birokrasi pemerintahan di berbagai tingkatan sudah dijangkiti mental korup, sehingga lebih suka mengutamakan kepentingan pengusaha daripada mencegah kerusakan LH."
Penjelasan lebih rinci dari tugas konstitusi kepada penyelenggara pemerintahan daerah (DPRD dan kepala daerah) dijelaskan dalam UU 32/2004. Ada tiga inti pemikiran dari UU itu: Pertama, DPRD mempunyai kedudukan sejajar dengan kepala daerah sehingga keduanya berada dalam posisi sama untuk melakukan checks and balances (pengawasan dan pengimbangan). Saling mencegah untuk melakukan penyimpangan dan pelanggaran, yang biasanya akan menyengsarakan masyarakat baik langsung atau tidak langsung.
Kedua, UU 32/2004 mendorong agar DPRD dan kepala daerah saling mengawasi dan mengontrol. Namun, tetap mencegah terjadinya upaya saling menjatuhkan satu sama lain. Karena itu, DPRD hanya dapat mengusulkan pemakzulan kepala daerah kepada presiden (Pasal 42 ayat 1 huruf d), sebagaimana juga kepala daerah tidak dapat membubarkan DPRD.
Ketiga, UU 32/2004 mendorong agar DPRD dan kepala daerah bersama-sama memperjuangkan kepentingan masyarakat. Karena itu, dalam UU itu banyak pasal yang mengharuskan DPRD dan kepala daerah melakukan sesuatu secara bersama-sama. Seperti pembuatan perda, APBD (Pasal 42 ayat 1), menetapkan kebijakan strategis pemerintahan daerah (Pasal 25 huruf a), menerbitkan obligasi daerah (Pasal 169 ayat 2).
Pemahaman itu dikaitkan dengan pencegahan kerusakan LH, maka penyelenggara pemerintahan daerah (DPRD dan kepala daerah) dapat mengeluarkan kebijakan strategis, agar Bapedalda lebih otonom dan mandiri sekaligus tidak berada di bawah kepala daerah yang membuatnya sungkan melakukan pencegahan kerusakan lingkungan. Sebab, izin pertambangan dikeluarkan oleh kepala daerah (gubernur atau bupati) untuk KP dan Menteri Energi Sumber Daya Alam dan Mineral (ESDM) untuk PKP2B.
Karena itu, penyelenggara pemerintahan daerah harus mengupayakan: Pertama, penyelenggara pemerintahan daerah mengusulkan kepada Presiden untuk mengeluarkan PP agar Bapedalda menjadi organisasi vertikal yang menginduk kepada Menteri LH, sehingga mempunyai kewenangan luas untuk mencegah terjadinya kerusakan LH.
Kedua, jika hal itu dianggap kurang sesuai dengan otda maka peneyelenggara pemerintahan daerah harus mengeluarkan perda agar Bapedalda menjadi organisasi otonom dan profesional yang tidak boleh diintervensi oleh DPRD dan kepala daerah.
Dari sisi kepala daerah, Bapedalda yang otonom dapat mencegah pejabat daerah memberikan laporan asal bapak senang (ABS) kepada kepala daerah.
Ketiga, jika DPRD kesulitan mengeluarkan perda karena harus mendapat persetujuan bersama dari kepala daerah, DPRD harus memerankan fungsinya semaksimal mungkin melaksanakan fungsi pengawasan dan pengimbangan. Antara lain melalui hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Jika ada keluahan masyarakat mengenai kerusakan lingkungan, DPRD harus segera bertindak. DPRD dibekali kewenangan kuat untuk meminta pejabat negara di tingkat daerah, badan hukum atau masyarakat memberikan keterangan tentang hal yang perlu ditangani demi kepentingan daerah, bangsa dan negara. Pihak yang diminta keterangan harus memenuhinya secara suka rela atau terpaksa (Pasal 66 dan 82 UU 22/2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD).
Jadi, jika kepala daerah tidak bisa diharapkan untuk mencegah kerusakan LH, maka DPRD harus mengimbanginya dengan melakukan langkah strategis seperti dijelaskan di atas yang sangat sesuai dengan semangat otda yang diamanatkan UUD, UU 32/2004 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Namun, jika DPRD dan kepala daerah sama-sama tidak peduli pada kerusakan LH maka terpaksa kita harus termangu dengan berbagai macam musibah yang datang silih berganti. Apakah kita semua sudah kehilangan hati nurani dan akal sehat.
e-mail: asfi_hani@plasa.com