Label Cloud

Sunday, September 09, 2007

Kelaparan di Kampung Petani Oleh: M Rifqinizamy Karsayuda Staf Pengajar FH Unlam

Friday, 17 August 2007 01:15

Beberapa hari lalu dalam sebuah seminar di hotel berbintang empat di Banjarmasin, seorang pejabat Pemprov Kalsel yang kala itu mewakili Gubernur Kalsel menyebutkan jumlah penduduk miskin di provinsi ini sebanyak 971.000 jiwa, atau setara dengan 31,22 persen dari seluruh penduduk provinsi ini.

Angka kemiskinan yang disebutkan pejabat itu membuat saya dan beberapa rekan yang hadir dalam seminar tersebut, mengelus dada. Lantaran, di saat yang bersamaan dipresentasikan perihal kekayaan SDA Kalsel yang telah diekploitasi perusahaan besar, utamanya di sektor pertambangan.

Hal ini diperparah dengan data indek pembangunan manusia (IPM) yang dikeluarkan BPS pada 2007. Data itu menempatkan IPM Kalsel pada urutan 26 dari 33 provinsi di Indonesia. Sebagai perbandingan, Kalteng berada di posisi 5 dan Kaltim 6. IPM disusun dengan memperhatikan tiga hal: tingkat pendidikan, kesehatan dan indeks daya beli penduduk di setiap provinsi.

Data tersebut membuat kita bertanya, mengapa kita tak tersejahterakan oleh limpahan SDA yang bersemanyam di perut Bumi Kalsel? Kita bak (terus) kelaparan di tengah kampung petani. Satu pertanyaan yang tak pernah menemukan jawabannya sampai 57 tahun usia provinsi ini. Inilah pekerjaan rumah (PR) terbesar kita saat ini, termasuk pimpinan daerah yang diberikan amanah langsung oleh Rakyat Kalsel pada Pilkada 2005 lalu.

Menata Kebijakan

Tidak adanya korelasi positif antara potensi dan kekayaan SDA Kalsel dengan kesejahteraan manusianya, adalah persoalan akut yang harus segera diselesaikan.

Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan pimpinan daerah dalam menjawab persoalan ini. Pertama, menetralisasi kebijakan yang ‘dipengaruhi’ atau rentan ‘dicitrakan ditunggangi’ oleh kepentingan pengusaha dan mengangkangi rakyat. Seperti diperbolehkannya angkutan batu bara melalui jalan umum adalah kebijakan yang harus segera dihentikan. Kebijakan semacam ini jika terus dipelihara akan membuat antipati publik terhadap ekploitasi SDA. Dalam kajian Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara, kebijakan demikian dapat mengindikasikan adanya discrecionary corruption (korupsi diskresi). Yaitu, korupsi (penyalahgunaan) yang dilakukan melalui kebijakan yang dimiliki aparatur negara.

Kedua, menata kebijakan yang berkaitan dengan eksplotasi SDA di Kalsel. Sebagai contoh, penataan terhadap program community development (CD) yang merupakan break down dari kewajiban perusahaan dalam konteks corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan). Penataan kebijakan tentang CD secara lebih rinci dan tegas idealnya diambil oleh Pemda Kalsel dengan cara mengeluarkan kebijakan regulasi, semacam perda. Langkah berani untuk segera menyusun perangkat hukum yang mengatur persoalan ini, jika dilakukan sungguh-sungguh akan berakibat pada peningkatan harkat hidup masyarakat Kalsel yang saat ini ‘terkepung’ oleh banyaknya perusahaan.

Ketiga, mengemplementasikan nilai good governance (GG) dalam pelayanan publik. Sebagai provinsi yang menjadi percontohan pelaksanaan GG di Indonesia, Kalsel sedapat mungkin menerapkan nilai GG, minimal di level pemerintahan. Pungutan liar, pemberian fee pada setiap proyek pemerintah dan berbagai ‘budaya’ birokrasi yang bertentangan dengan GG seharusnya telah lenyap dari tubuh birokrasi di Kalsel. Sebagaimana diketahui, PAD Kalsel baru mencapai Rp 1,2 triliun, di mana Rp 500 miliar merupakan dana alokasi umum yang dikucurkan pusat. Itu berarti, hanya ada sekitar Rp 700 miliar yang dihasilkan Kalsel sendiri. Suatu pencapaian yang tak menggembirakan pada usia 57 tahun keberadaan provinsi ini.

Penataan kebijakan perlu segera dilakukan oleh pimpinan daerah yang memegang otoritas atas hal itu. Kalsel saat ini membutuhkan pemimpin daerah yang bukan hanya ‘terpanggil’ untuk memimpin, namun berani memimpin pada saat kepemimpinan itu diamanahkan kepadanya. Pemimpin yang baik, tak akan pernah membiarkan banua ini ‘kelaparan di kampung petani’. Kita pun harusnya tak pernah rela ‘termiskinkan’ oleh diri kita sendiri. Selamat HUT Kalsel!

e-mail: rechtolog@yahoo.com

No comments: