Label Cloud

Thursday, September 13, 2007

Memelihara Sungai: dari Hulu ke Hilir

Saturday, 01 September 2007 03:08

Kelestarian sungai, tergantung lingkungan alam khususnya hutan di hulu dan permukiman penduduk di hilir atau sepanjang sungai.

Ahmad Barjie B
Pemerhati sosial dan LH

Ada versi mengatakan, nama Kalimantan berasal dari kata ‘kali’ artinya sungai dan ‘mantan’ artinya banyak. Jadi Kalimantan berarti banyak sungai. Faktanya, di semua provinsi di Kalimantan ditemui banyak sungai, termasuk Kalsel. Sayang, sungai itu banyak yang mati, kotor, tercemar dan dikalahkan bangunan sehingga kehilangan eksistensi dan fungsinya yang selama berabad-abad menjadi sumber kehidupan penduduk dan sumberdaya hayati.

Akhir-akhir ini, Pemko Banjarmasin bersama Pemprov Kalsel giat melakukan ‘bedah sungai’. Sejumlah pihak dilibatkan, termasuk perlombaan guna membangun kembali komitmen dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya sungai, kebersihan dan kelestariannya.

Langkah proaktif Pemprov Kalsel yang ikut membenahi sungai sangat penting. Tentu akan lebih efektif jika semua provinsi melakukan hal sama. Agar diperoleh hasil optimal, diperlukan pemahaman masalah itu secara terpadu dan komprehensif disertai aksi nyata. Rusaknya sungai sangat dimensional dan tidak berdiri sendiri.

Alam dan hutan
Kelestarian sungai, tergantung lingkungan alam khususnya hutan di hulu dan permukiman penduduk di hilir atau sepanjang sungai. Kalau hutan lestari, sungainya juga lestari. Sebab, setiap pohon yang tumbuh di hutan mampu menyedot air dan mengalirkan secara perlahan melalui sungai. Pohon berdiameter satu meter sanggup menampung delapan drum air. Kalau hutan dibabat dan ribuan pohon ditebang, dapat dihitung berapa kerugiannya.

Maraknya pembalakan hutan dan penambangan batu bara, semakin mengurangi luas hutan secara drastis. Apabila pengrusakan hutan dibiarkan, mengancam kelestarian sungainya. Sebab, antara hutan dan sungai memiliki hubungan timbal balik yang tidak terpisahkan.

Nasib sungai juga dipengaruhi perilaku manusia yang hidup di sekitar dan sepanjang sungai. Manusia yang mengotori sungai dengan sampah dan limbah, membangun di bantarannya dan berbagai tindakan negatif lain yang berlawanan dengan fungsi sungai, berakibat sungai rusak dan tidak dapat lagi menyandang fungsi utamanya. Seperti sumber air bersih, sarana ekologi, irigasi, prasarana transportasi dan pariwisata.

Sungai yang rusak mendatangkan banjir. Banjir sebenarnya peristiwa alami, sementara dan terkendali. Secara ekologis, banjir adalah fenomena alam yang mengikuti Hukum Alam. Proses terjadinya banjir dapat dipikirkan dan diperkirakan berdasarkan penalaran ilmiah, serta dapat diantisipasi secara preventif berdasarkan kaidah Hukum Alam pula. Banjir begini teratur dan positif, sebab membawa kesuburan tanah.

Hutan yang rusak dan sungai yang tidak mampu menampung luapan air hujan, berakibat banjir yang merusak dan membahayakan, tidak saja bagi lahan pertanian, peternakan, permukiman bahkan harta benda dan jiwa manusia. Banjir yang terjadi selama ini di Banjarmasin dan Kalsel, adalah paduan banjir sungai dengan air laut yang pasang naik. Banjir tidak dapat lagi diprediksi dan cenderung destruktif.

Sedimensi dan orogisasi
Mujiono Abdillah yang menulis disertasi tentang sungai dalam perspektif agama menyatakan, penyebab terjadinya banjir sungai cukup banyak. Di antaranya, pertama, faktor klimatologis (iklim). Misalnya, di musim penghujan saat volume air hujan sangat tinggi melebihi daya tampung sungai. Kedua, menurunnya daya serap tanah. Meliputi rendahnya daya serap tanah terhadap air hujan yang disebabkan penutupan permukaan tanah oleh bangunan, urug, betonisasi dan sejenisnya. Serta, rendahnya kemampuan menahan air hujan karena terjadinya dehutanisasi/rusaknya hutan (deforestry). Ketiga, penipisan hutan lindung untuk keperluan perluasan lahan pertanian di daerah hulu sungai dan meningkatnya percepatan pelarian air hujan ke sungai karena gundulnya pepohonan, penebangan dan pengelupasan permukaan tanah oleh penambangan. Keempat, perubahan peruntukan daerah penampungan air sungai menjadi daerah permukiman atau lingkungan industri. Kelima, penurunan daya tampung sungai. Berupa pendangkalan palung sungai oleh sedimensi (pelumpuran), penyumbatan sungai karena sampah dan limbah padat; penyempitan palung sungai karena disfungsi aliran sungai, seperti bangunan di bantaran sungai.

Kerusakan hutan variabel terbesar banjir di Kalsel, disusul rusaknya sungai. Pakar lingkungan Otto Soemarwoto menyatakan, berkurangnya hutan berakibat air hujan yang meresap ke dalam tanah berkurang, pengisian air tanah juga berkurang. Hilangnya hutan juga berarti makin besarnya erosi dan tingginya kandungan lumpur dalam air sungai. Sedimensi yang tinggi menyebabkan air sungai keruh, tidak layak konsumsi, tidak disenangi ikan dan juga tidak menarik pariwisata. Lumpur yang mengendap di hilir dan muara sungai, menghambat kelancaran arus air sehingga risiko banjir semakin tinggi.

Bagi Kalsel, bahkan tiga provinsi lainnya di Kalimantan, telah terjadi akumulasi kerusakan: hutan rusak di daerah hulu dan sungai rusak di hilirnya. Memelihara sungai harus terpadu dengan menyasar keduanya. Menjaga kebersihan dan kelestarian sungai tidak terpisahkan dari keharusan menjaga kelestarian hutan di daerah hulu, kemudian menjaga kebersihan dan kelestarian sungai di sepanjang alirannya. Semua itu menuntut kesadaran, komitmen dan konstribusi positif semua pihak. Tidak hanya pemerintah, juga pengusaha dan masyarakat. Mahalnya harga air, tingginya kebutuhan air bersih, punahnya sebagian spesies ikan air tawar, seringnya kemacetan dan kecelakaan jalan darat, adanya kerinduan mandi dan bermain di sungai, kiranya mendorong kita kembali menghidupkan sungai.

e-mail: barjie_b@yahoo.com


No comments: