Label Cloud

Tuesday, January 15, 2008

Bencana Alam, Apa yang Salah?

Kamis, 10-01-2008 | 00:12:05

Sepertinya, kita memang semakin tidak berdaya. Karena itu, sudah saatnya kita melakukan otokritik, sejauh hal itu memang kesalahan kita semua.

Oleh: Pribakti B
Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Alam , tampaknya sedang tidak bersahabat dengan kita. Di mana-mana di seluruh Indonesia, kita menyaksikan musibah banjir, tanah longsor yang sangat menyedihkan. Sebagian karena alamnya yang sangat ganas, sebagian lagi karena kesalahan kita dalam menjaga lingkungan. Misalnya, penebangan pohon di hutan sehingga mengganggu penyerapan air. Atau, karena kebersihan, saluran air yang tidak berjalan semestinya.
Banyak jalan yang tidak memiliki saluran air yang semestinya, sehingga setiap tahun ketika musim penghujan jalan itu pasti rusak kembali. Diperbaiki setiap tahun, namun rusak kembali pada tahun berikutnya. Seolah-olah kita tidak pernah belajar dari pengalaman atau memang disengaja? Sebab, konon berarti ada proyek setiap tahun.
Keadaan seperti itu, seolah-olah telah menjadi rutin. Ketika musim kemarau, yang terjadi adalah kebakaran hutan. Celakanya, tahun demi tahun tidak semakin mereda, tetapi bahkan semakin besar. Semua itu berdampak sangat luas. Tidak hanya kerugian material, tetapi juga (misalnya), timbul penyakit demam berdarah yang semakin luas. Rakyat, sudah tentu semakin menderita. Padahal, kita memiliki kementerian yang mengurus lingkungan hidup. Lantas apa kerjanya kementerian itu?
Sepertinya, kita memang semakin tidak berdaya. Karena itu, sudah saatnya kita melakukan otokritik, sejauh hal itu memang kesalahan kita semua. Mungkin ada baiknya, pemerintah mengkaji ulang tentang pemeliharaan lingkungan kita. Bagaimana kita menjaga hutan, bagaimana kita membangun jalan, bagaimana kita membangun perumahan, sampai menjaga kebersihan lingkungan. Itu karena masalahnya sudah demikian kompleks dan terkait lintas sektoral.
Sebuah ironi sebenarnya. Kita bisa membangun gedung megah atau rumah mewah, tetapi kondisi jalannya menyedihkan. Tidak hanya tidak mulus, tetapi saluran airnya tidak beres sehingga jalanan semakin macet. Demikian juga ketertiban lingkungan. Ada kesan, semakin diperlukan juga ketertiban lingkungan semakin diperlukan keterlibatan semua orang, tokoh masyarakat agar masyarakat dapat diberikan edukasi menjaga kebersihan yang semestinya.
Masyarakat sudah saatnya diingatkan bahayanya ketidakpedulian pada lingkungan, agar malapetaka yang lebih hebat tidak akan terjadi di masa depan. Sebuah kerja besar dan keras, yang harus melibatkan seluruh masyarakat. Lalu, siapa yang mengambil inisiatif?
Sudah tentu pemerintah. Bilamana perlu, kita sarankan kepada Presiden untuk menggunakan kewenangannya supaya pemeliharaan lingkungan itu berjalan lebih baik.
Dalam lingkup yang lebih besar lagi, elit politik, tokoh informal dan agama serta penyelenggara negara juga harus ikut bertanggung jawab atas hal itu.
Mengapa elit politik tidak menganjurkan konstituennya untuk peduli lingkungan? Mengapa pemuka agama tidak menyampaikan pesan sadar lingkungan, ketika berkotbah? Mengapa pemerintah yang memiliki mesin demikian besar untuk menyampaikan pesan peduli lingkungan, gagal mengingatkan rakyatnya untuk sadar lingkungan.
Mungkin, elit politik/tokoh informal/pemuka agama serta birokrat sudah merasa melakukan semua itu. Lalu, mengapa rakyat tetap tidak peduli lingkungan? Jawabnya, (jangan-jangan) rakyat sudah tidak (mau) lagi mendengar apa yang mereka serukan. Penyebabnya, mungkin tiadanya keteladanan yang bisa dilihat rakyat. Kalau benar demikian, alangkah berat masa depan bangsa ini.
Ada anggapan, itulah peringatan dari Tuhan. Sebab, kita kurang amanah selaku khalifah di bumi. Krisis yang kita alami, sering dikatakan sebagai krisis multidimensional. Artinya, terkait semua bidang kehidupan. Ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya. Bencana alam itu, seolah-olah peringatan agar kita semua kembali kepada nilai kepribadian, jatidiri bangsa yang dahulu dikenal sebagai bangsa berbudi luhur, berkebudayaan tinggi, menjunjung tinggi nilai moral dan etika serta keharmonisan hubungan antarmanusia.
Sekarang, semua itu mengesankan telah tercabik-cabik. Tidak salah, apabila anggapan seperti ini perlu kita renungkan bersama kebenarannya agar kita dapat memperoleh petunjuk Nya untuk kembali ke jalan yang benar. Namun di luar nilai yang sifatnya gaib atau abstrak, terkait hubungan manusia dengan Tuhannya, kita tidak boleh lepas dari kodrat kita sebagai manusia yang harus melihat semua bencana alam itu sebagai kejadian alam yang biasa.
Hal itu terlepas dari kejadian alam yang tidak mungkin kita prediksi, tidak terkait dengan keberadaan kita sebagi khalifah di bumi, misalnya gempa bumi. Di sinilah kita harus bertanya, mengapa peristiwa alam yang lain bisa terjadi? Sebagian, adalah karena perbuatan kita sendiri yang memang kurang amanah sebagai khalifah di bumi. Tidak saja gagal menjaga lingkungan, tetapi juga bidang lainnya. Mudah-mudahan musibah banjir dan tanah longsor kali ini dapat menjadi kesadaran bersama, sebab semua itu hanya dapat diselesaikan kalau kita semua saling menyadari sesuai tempat dan peran yang bisa kita lakukan dalam lingkungan kita masing-masing.
Itu harapan kita, agar di tahun-tahun mendatang bencana alam dapat semakin dikurangi. Dari sekadar bencana berupa banjir, tanah longsor, jalan yang semakin macet sampai kerugian material yang  terjadi setiap tahun. Kesannya, sebenarnya adalah sangat sederhana, namun mengapa sangat sulit?

e-mail: budinurdjaja@yahoo.com

No comments: