Rabu, 02-01-2008 | 01:38:02
BISA ditegaskan bahwa bencana adalah pelajaran paling berharga untuk mengambil kebijakan dalam pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA). Sehingga wajar kalau semua memperhitungkan dampaknya untuk jangka pendek, maupun jangka panjang.
“Kita melihat banyak sekali tata ruang pemanfaatan SDA yang tidak melihat dampak dalam jangka waktu panjang, sehingga baik aparat pemerin-tah maupun pengelola semaunya saja memanfaatkan SDA,” kata Kepala Bapedalda Provinsi Kalimantan Barat, Tri Budiarto, di Pontianak, kemarin.
Menurut dia, tata ruang pemanfaatan sumber daya alam (SDA) nasional harus perlu di-kaji ulang, jika tidak ingin terus-menerus dilanda bencana alam, semisal banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan .
Tri mencontohkan, banjir yang sering terjadi di Kota Pontianak dengan ketinggian air 50-100 centimeter yang dengan cepat terjadi, meski baru diguyur hujan satu jam saja.
Padahal, wilayah Kota Pontianak berada di pinggir Sungai Kapuas yang airnya langsung mengalir ke laut, dan jaraknya tidak kurang dari tiga kilometer dari lautan lepas.
Tri Budiarto menjelaskan, tata ruang pemanfaatan yang tidak benar, telah menimbulkan bencana alam. Itu terjadi karena ulah manusia. Ia mencontohkan bencana di Karanganyar Jawa Tengah yang telah menewaskan sedikitnya 62 orang akibat ben-cana tanah longsor dan banjir.
Selain itu, banjir yang melanda pada 26 Desember, merendam 68 rumah warga di Desa Wonojati, Kecamatan Jenggawah, Jember, Jawa Timur. Saluran air yang mampet dan mengakibatkan luberan air.
“Padahal Jember berbukit-bukit, tetapi kenapa sampai terendam air akibat hujan. Dari situ kita bisa melihat bagaimana tata ruang pemanfaatan SDA harus diperjelas lagi. Sehingga ada peta dimana boleh melakukan aktifitas pengelolaan SDA dan di lokasi mana saja yang tidak boleh, untuk memudahkan pengawasan,” katanya.
Jika pemerintah tidak secepatnya mengkaji tata ruang pemanfaatan SDA sejak dini, maka tidak menutup kemungkinan di kemudian hari bencana banjir dan tanah longsor akibat ulah manusia, lebih besar lagi mengancam Indonesia.
“Sudah bukan zamannya lagi banyak pejabat pemerintah mendatangi tempat bencana banjir dengan membawa sejum-lah bantuan. Tetapi mari melihat lebih jauh penyebab bencana tersebut agar bisa secepatnya bisa dicegah,” ujarnya.
Hanya Masalah Klasik
Ia menilai, banyak pengambil keputusan menganggap ben-cana alam hanya masalah klasik yang rutin terjadi tanpa memberikan jalan keluar. Tanpa melihat, apakah air pasang yang cukup tinggi yang terjadi di Kota Pontianak dalam sepekan ini, karena memang pasang besar ataupun karena pendangkalan Sungai Kapuas akibat aktifitas PETI (Pertambangan Emas Tanpa Izin) yang semakin marak di perhuluan Sungai Kapuas.
Selagi aktifitas PETI masih marak di bagian hulu Sungai Kapuas, banjir dan pencemaran merkuri akan semakin tidak terkendali di Kalimantan Barat.
Sebelumnya, Stasiun Meteorologi Maritim Pontianak menyatakan ketinggian air pasang di Sungai Kapuas telah mencapai 98 centimeter di atas permukaan air normal.
Staf lembaga itu, Ahmad Sayuti mengatakan, meningkatnya permukaan air laut yang ma-suk ke Sungai Kapuas disebabkan pengaruh grativitasi bulan dan pengaruh musim penghujan.
Sebelumnya, dari pemantauan di sepanjang Jalan Tanjungpura dan Jalan Imam Bonjol Pontianak, sejumlah bangunan yang berada di pinggir jalan telah dimasuki air dengan ketinggian sekitar lima hingga 10 centimeter.ant
No comments:
Post a Comment