Jumat, 09 Februari 2007 02:49
Kumuh, gersang dan semrawut, seakan menjadi pemandangan sehari-hari. Karena kondisi seperti itu pula Kota Banjarmasin mesti rela dicap sebagai kota terkotor pada 2006 lalu. Beruntung, muncul seorang Muhammad Syamsudin. Bukan seorang pejabat, tapi ia peduli.
Sepintas memang tak ada keistimewaan dalam diri Muhammad Syamsudin. Kehidupannya pun tak jauh beda dengan warga lainnya, hidup dalam kesederhanaan.
Namun lelaki pengayuh becak yang biasa mangkal di Jalan Teluk Dalam dan Pembangunan, Banjarmasin tersebut, memiliki hati mulia. Gersangnya lingkungan kota sungguh menyentuh hatinya.
Hanya dengan mengumpulkan biji ketapang (Terminalia Catappa) di sela-sela istirahat menarik becak, dirinya mencoba membibitkan tanaman tersebut.
Mulai 2003 lalu ia melakukan penanaman di pinggir-pinggir jalan dan sungai di Banjarmasin. Hasilnya, hingga kini lebih dari 3.200 pohon ketapang dan angsoka dia tanam sendiri.
"Ini saya lakukan karena tidak ingin melihat Kota Banjarmasin gersang. Selama menanam pohon ini pun saya tidak pernah minta-minta dana kepada siapa pun. Diizinkan menanam saja sudah bersyukur," kata warga Jalan AES Nasution, Gang Pasar RT 16 Nomor 15 Banjarmasin.
Dikisahkan, awalnya ia iri saat melihat secara langsung keindahan Bali, Semarang, dan Malaysia. Banyak pohon besar yang tumbuh di pinggir jalan sehingga keadaan kota sangat rindang.
"Masa daerah kita yang mendapat julukan Kota Seribu Sungai terlihat gersang. Berawal dari situ, ditambah masukan dari Anang Rosadi (anggota DPRD Kalsel) saya mulai menanam pada Juni 2003. Saya pun mencoba melakukan pembibitan pohon di halaman rumah orangtua Anang, di Jalan Jafri Zam Zam," kata suami Noorlaila ini.
Kali pertama, ia menanam pohon perindang itu di Jalan Yapahut hingga depan Masjid Raya Sabilal Muhtadin. "Dan, ini saya lakukan diam-diam. Karena ini bukan proyek duniawi tetapi proyek akhirat sehingga saya tidak perlu ekspose," ucapnya.
Setelah mendapat izin dari kelurahan dan kecamatan, di sela kesibukannya mengais rejeki untuk menghidupi istri dan tiga anaknya, Siti Widiastuti, Sri Martini Sumantri dan Dina Riani Zahrah, ia terus berusaha menanam pohon. Pria kelahiran Banjarmasin, 29 Desember 1969 itu mempunyai target tahun 2008, kota Banjarmasin sudah menghijau. "Apabila itu tercapai, tentu ada kepuasan," katanya.
Alasan secara diam-diam? Syamsudin hanya mengaku tidak ingin tinggi hati. "Saya takut menjadi orang sombong, karena dipuji-puji. Tetapi karena sudah banyak yang tahu dan mendapat penghargaan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan Banjarmasin, ya biarlah," ujarnya.
Yang jelas, ia sangat bersyukur apabila pohon yang ia tanam takhirnya bisa dinikmati warga sekitar. "Salah satunya teman-teman tukang becak, ojek dan warga lain bisa berteduh di sana termasuk burung-burung tidak harus terbang terus karena ada tempat persinggahan," beber alumni Pondok Pesantren Nurul Huda, Jawa Timur itu.
Namun dia mengaku sempat merasa sedih karena pohon yang ia tanam sudah tumbuh besar kemudian rusak akibat tangan-tangan jahil.
Syamsudin merantau ke Banjarmasin pada tahun 1986. Saat itu ia khusus mengayuh becak malam hari. Sementara pada siang hari aktif di organisasi Garda Bangsa. Pada peringatan Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni 2006, Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin memberikan piagam penghargaan kepada Syamsudin sebagai warga peduli lingkungan.
Usaha yang dilakukannya, menurut Gubernur, sangat layak menjadi teladan bagi warga lainnya. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kalsel pun akan mengusulkan Syamsudin menjadi salah satu nominator penerima penghargaan Kalpataru. mdn/kcm
No comments:
Post a Comment