Label Cloud

Monday, March 26, 2007

Petaka Di Dua Musim

Rabu, 14 Februari 2007 01:08

B. Post/ Opini

Oleh: Syahminan/Abau
Jalan Suaka Samai, Tanjung

Di musim kemarau kita dapat petaka berupa kekeringan dan kebakaran hutan yang berdampak timbulnya kabut asap. Kabut asap tersebut sangat merugikan masyarakat, seperti terganggunya aktivitas, kecelakaan transportasi. Selain itu, mengganggu kesehatan dengan banyaknya penderita penyakit radang pernapasan, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Namun ketika musim kemarau berakhir dan disambut musim penghujan, petaka baru datang lagi, banjir dan tanah longsor. Seperti di Aceh Tamiang (NAD), hampir seluruh Sumatera, dan di Kalimantan Selatan terjadi di Kabupaten Tabalong, Balangan, Tanah Laut dan Hulu Sungai Utara. Kini bahkan sudah menyerang ibukota negara, Jakarta. Berbagai kegiatan atau aktivitas terhenti. Jumlah kerugian harta dan benda sudah tidak terhitung.

Mengapa ini terjadi? Adakah musim yang aman? Apakah langkah kita bersama pemerintah dalam upaya menanggulangi banjir tidak ada? Kiranya untuk menjawab itu ada baiknya kita melihat kembali kebijakan pemerintah di sektor hulu, yaitu upaya melestarikan hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air jika terjadi hujan.

Kalau itu yang jadi ukuran maka masih dirasakan kurang, sebab kerusakan hutan di sektor hulu terus terjadi. Contoh banjir kiriman yang dialami Jakarta, lebih diakibatkan rusaknya hutan di daerah Puncak sebagai akibat dari perambahan hutan untuk pembangunan hotel dan permukiman yang kurang memperhatikan lingkungan. Dan kita juga tidak menutup mata, kalau sebagian dari warga masyarakat juga punya andil dalam hal ini misalnya, dengan membuang sampah ke sungai atau parit yang kemudian berakibat tersumbatnya aliran air hingga banjir lebih cepat terjadi. Keadaan ini diperparah oleh curah hujan yang memang tinggi.

Melihat kenyataan bahwa baik di musim hujan ataupun di musim kemarau kita selalu kena petaka, musibah atau apapun namanya, kenapa kita tidak menjadi lebih arif dan bijaksana dalam usaha mencegah atau mengantisipasinya? Di setiap musim kita selalu didera petaka tentu ada sesuatu yang salah atau keliru dengan tata kelola (governance) hutan. Dalam bencana pada musim kemarau, kemudian disambut bencana dimusim penghujan, seperti seekor keledai yang lepas dari mulut singa tapi disambut lagi mulut buaya. Jika ini terjadi setiap tahun, tentu keledai akan habis dan binasa. Tetapi kita bukan keledai, sebab kita punya langkah antisipasi namun masih banyak yang belum jalan, atau jalan di tempat.

Menurut laporan Badan Meteorologi dan Geofisika, hujan yang mengakibatkan banjir bandang dan tanah longsor di sebagian besar wilayah Sumatera lebih diakibatkan rusak/gundulnya hutan. Hal tersebut berdasarkan catatan mereka yang menyatakan bahwa curah hujan masih dalam batas normal. Pernyataan ini kemudian diperkuat pernyataan Wapres Jusuf Kalla dan Menteri Kehutanan MS Kaban yang dilansir media cetak dan elektronik.

Jika memang jelas sudah kerusakan hutan yang menjadi penyebab, ada baiknya kita terus memperbaiki tata kelola hutan yang semrawut dan tidak terkendali pembabatannya. Aparat pemerintah mulai dari Presiden mengakui bahwa illegal logging/penebangan liar sangat besar pengaruhnya dalam kerusakan hutan. Kemudian hutan yang semestinya jadi tempat resapan air yang kemudian dengan alami dan teratur mengalirkannya menuju anak-anak sungai hingga ke laut.

Kita juga perlu memperjelas bahwa kerusakan hutan tidak hanya diakibatkan illegal logging, tetapi yang legal pun punya konstribusi. Misalnya pemberian izin pembabatan hutan untuk industri perkebunan serta pertambangan. Bahkan izin ini sampai merambah kawasan hutan lindung seperti, Perpu No 1/2004.

Seperti kita ketahui dalam jangka pendek pertambangan sangat bermanfaat bagi pendapatan nasional kita. Sektor ini juga menyerap banyak angkatan kerja, tetapi juga membabat hutan untuk kepentingan pertambangannya, sehingga kerusakan hutan juga tak bisa dihindari. Dalam jangka panjang hal tersebut juga membahayakan. Di sini perlu perhatian dan kearifan kita semua dalam upaya menanggulangi dampaknya, terutama dengan sangat memperhatikan reklamasi dan reboisasi. Dan yang tak kalah penting di dalam menambang mematuhi peraturan-peraturan, misalnya batas kedalaman sehingga tidak melewati batas permukaan laut.

Ini juga pernah disampaikan oleh Shirato Syafei dalam editorialnya di majalah Indonesia Corp edisi 13/2004. Kerusakan hutan kian tahun terus berkurang secara kuantitas karena pemerintah kelihatannya agak lumayan dalam upaya menanggulangi. Ini disebabkan operasi hutan lestari yang digelar pemerintah. Tetapi yang jelas dan pasti adalah hutan yang dirusak kini hampir tidak ada lagi.

Kita berharap rencana pemerintah yang akan membentuk badan yang akan mengelola dana Rp9,7 triliun seperti ditayangnya running teks Metro TV lewat untuk reboisasi berjalan lancar dan tidak menjadi dana untuk orang yang bermental korup. Dengan begitu hutan dapat diperbaiki dan dampak dari kerusakannya seperti banjir dan tanah longsor dapat ditekan seminimal mungkin.

Lepas dari semua itu adalah perlunya penegakan hukum yang sangat kuat dan tegas bagi mereka yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan. Dan jangan kita berwacana saja. Dalam upaya penegakan hukum hendaknya pemerintah tidak terjadi tebang pilih, tetapi tegas dan seperti yang diungkapkan Menteri kehutanan MS kaban, bahwa para perusak hutan itu seperti teroris, sebab mereka tidak peduli jumlah korban atau kerugian yang ditimbulkannya.

Bagi saya malah menganggap para pelaku kerusakan hutan baik yang ditebang atau dibakar sebagai hama yang perlu dibasmi sampai ke akar-akarnya. Sebab, hama tidak punya rasa kemanusiaan dan kepedulian akan dampak merugikan yang mereka timbulkan. Jadi Untuk membasminya tidak perlu menggunakan hati, tapi dengan tindakan yang sangat tegas, yaitu membuat aparat penegak hukum seperti predator yang kokoh dan kuat dengan payung hukum tegas pula. Dengan demikian kita harapkan para pelaku jadi jera dan hutan tetap lestari, kebakaran hutan dan kabut asap beserta banjir dapat dihindari.

abauwkan@yahoo.com

No comments: