Label Cloud

Tuesday, December 18, 2007

Seribu Sungai

Kamis, 13-12-2007 | 00:43:23

Seiring upaya fisik penyelamatan dan normalisasi sungai, selamatkan juga pergeseran pandangan kita atas makna besar sungai bagi kehidupan masyarakat dan kota.

Oleh: Muhammad Fauzan Noor

Pemerhati dan pecinta lingkungan

Entah karena lagi hangatnya perdebatan tentang pemanasan global dan perubahan iklim, atau memang sedang tumbuh kesadaran yang amat sangat, sehingga beberapa waktu terakhir banyak aktivitas penyelamatan lingkungan yang salah satunya bermuara kepada upaya penyelamatan sungai. Atau dalam bahasa perencanaan pemerintah daerah, disusun sebagai kegiatan normalisasi sungai.
Kegiatan yang dilakukan multistakeholder itu ada yang berupa aksi bedah sungai, lomba bersih-bersih sungai, main perahu karet ramai-ramai, terakhir konser amal untuk penyelamatan sungai.
Upaya itu memang menjadi perhatian yang sangat serius untuk ditindaklanjuti. Normalisasi sungai dalam bahasa perencanaan pemda, memang sangat segera harus dilakukan, walau dapat dikatakan agak terlambat. Tengok saja, bagaimana Frangky Sahilatua hanya dalam waktu sekejap, mampu melukiskan kerusakan sungai dalam sebuah lagu khusus yang diciptakannya untuk konser amal penyelamatan sungai.
Tapi ada hal menggelitik yang tertinggal dan mungkin alpa dibenahi dari sederet upaya penyelamatan sungai tersebut. Ternyata, masih ada di antara kita yang sepertinya telah kehilangan makna besar atas arti sungai. Cukup sedih kiranya, karena tanpa sengaja saya menyimak satu statement pejabat: “Julukan Banjarmasin sebagai ‘Kota Seribu sungai’ sudah tidak relevan. Sebab, banyak sungai yang hilang dan mati sehingga mungkin kurang dari seribu.”
Sedih bukan hanya karena memang benar fakta telah membuktikan banyak sungai yang telah hilang dan mati, serta hanya menyisakan kenangan bagi anak cucu kita. Tetapi sedih alang kepalang, karena ternyata masih ada pemikiran sempit yang tidak mengerti makna seribu sungai tidak hanya identik dengan jumlah sungai. Namun lebih dalam lagi, ‘seribu’ sungai melambangkan tidak terhitungnya (besarnya) makna dan arti sungai sehingga seribu sebenarnya pun belum mampu mewakili kompleksitas makna sungai bagi masyarakat dan Kota Banjarmasin.
Kehilangan pemaknaan itu pantas saja, kalau pada gilirannya berdampak kepada melencengnya orientasi pembangunan kota, yang seharusnya menempatkan sungai sebagai aset dan potensi besar penunjang perkembangan kota. Sila rasakan, bagaimana salah satu contoh langkah pembangunan yang berorientasi kepada daratan telah menyebabkan kian pudarnya eksotisme Pasar Terapung. Sila rasakan, bagaimana tragisnya proses evolusi dari sungai menjadi parit, kemudian menjadi selokan/got dan akhirnya lenyap, tergerus oleh congkaknya pembangunan jalan dan bangunan kota. Sila tunggu, mungkin pada suatu saat Museum Rekor Indonesia (Muri) akan menasbihkan Sungai Martapura sebagai tempat sampah terpanjang di dunia.
Seiring upaya fisik penyelamatan dan normalisasi sungai, selamatkan juga pergeseran pandangan kita atas makna besar sungai bagi kehidupan masyarakat dan kota. Sungai adalah jiwa yang menjadi ruh ‘Kota Bandar’ ini. Sungai adalah sejarah dan perjuangan yang menjadi lambang keperkasaaan putra terbaik banua dalam mempertahankan tumpah darah dari tirani penjajahan. Sungai juga adalah ibu yang melahirkan Kota Bandarmasih.
Sungai, sumber penghidupan masyarakat yang menjadi hidangan berkah anugerah ilahi. Sungai adalah cinta yang melahirkan kearifan dan kesahajaan. Sungai adalah pemersatu yang mengalirkan damai dalam harmonisnya silaturahmi. Sungai adalah rumah yang menyuguhkan tenteram ketenangan. Sungai adalah teman yang mengantarkan langkah kehidupan. Sungai adalah semangat yang menyokong mencapai harapan. Sungai adalah kita.
Kembalikan makna itu dalam lubuk hati kita. Silakan hitung dan pastikan, akankah seribu telah mencukupi hitungan makna itu. Kembalikan sungai sebagaimana ia telah mengalirkan langkah kehidupan kita. Dirikan jatidiri Banjarmasin sebagai ‘Kota Seribu Sungai’ dalam bingkai makna yang sebenarnya.
Air sungai telah terluka, oleh kemiskinan. Air sungai telah tercemar, oleh merkuri kimia lainnya.
“Di sungai itu masa laluku
    Di sungai itu masa depanku
    Aku bermain, aku ke sekolah
    Jadi dewasa dengan sungai itu.”
    Dari leluhur sampai anakku

Demikian sebaik syair dari lagu yang belum sempat diberi judul dan dinyanyikan Franky Sahilatua dalam Konser Musik Amal untuk Penyelamatan Sungai pada 2 Desember lalu. Lagu ciptaan Franky yang dilelang dan terjual lebih dari 20 juta rupiah itu, membuat kita malu. Malu karena meski sekejap, Franky lebih arif dalam menangkap makna sungai bagi kita.

e-mail: oz_bjm@yahoo.comAlamat e-mail ini telah diblok oleh spam bots, Anda membutuhkan Javascript untuk melihatnya

ozztation.blogspot.com

No comments: