Selasa, 30 Oktober 2007
Dwi P Djatmiko, Direktur Eksekutif Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia Kalimantan Selatan, tak bisa menutupi kekecewaannya ketika bicara kondisi terakhir habitat anggrek hutan di Pegunungan Meratus. "Kemampuan kami terbatas, penyelamatan yang bisa dilakukan hanya pada dua kampung di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Daerah lainnya, kami tidak bisa berbuat banyak," katanya.
Kekecewaan itu tentu beralasan. Sebab, setahun terakhir perburuan anggrek hutan dan berbagai tanaman alam lain yang dijadikan tanaman hias dari Pegunungan Meratus terus marak dan tak terkendali. "Kalau ini terus dibiarkan, lama-lama habis dan bisa saja orang Kalsel nanti hanya dapat menyaksikan kekayaan alam daerah ini di luar daerahnya, bahkan di luar negeri," katanya.
Pengambilan anggrek hutan Meratus dalam skala besar, kata dia, terjadi tahun 1980 oleh seorang peneliti dari Eropa di Gunung Halao-halao. Sekarang, koleksi anggrek Meratus yang terlengkap ternyata ada di Botanical Garden di London, Inggris. "Daerah ini memang menjadi incaran karena sangat kaya dengan anggrek. Bahkan, ekspedisi Meratus yang dilakukan YCHI tahun 2005 saja menemukan lebih dari 100 jenis anggrek hutan," ungkapnya.
Kini perburuan anggrek berlangsung besar-besaran dan terus-menerus. "Yang kami bisa pastikan tak terjadi penjarahan anggrek hutan Meratus hanya di Desa Haratai dan Malaris, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Warga dua desa ini membudidayakan sekitar 30 jenis anggrek hutan, hasilnya mereka jual Rp 50.000 hingga Rp 250.000 per pot," katanya.
Daerah lainnya, terutama di enam kabupaten, di antaranya Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, dan Tapin, pengambilan anggrek hutan dan tumbuhan hutan lainnya terus berlangsung.
Perburuan anggrek hutan tropis basah dataran rendah itu begitu hebat menyusul booming bisnis tanaman hias di Indonesia akhir-akhir ini. Hal ini memicu munculnya para pedagang tanaman hias dadakan di Kalsel. Sayangnya, yang mereka jual bukan tanaman hias hasil budidaya, tetapi mengambil dari alam.
Dan untuk mendapatkan berbagai jenis tanaman khas Kalimantan, mereka tidak perlu pergi ke hutan berhari-hari. Para pedagang itu tinggal menyuruh warga setempat masuk hutan.
Apa yang diambil dari hutan semua mereka beli secara karungan dengan harga Rp 10.000 hingga Rp 50.000 per karung.
Dari Kecamatan Loksado, anggrek hutan diangkut dengan sepeda motor atau mobil bak terbuka. Pengangkutan biasanya berlangsung Jumat malam atau Sabtu pagi. Mereka menempuh jalan sekitar 180 kilometer arah Banjarmasin dan menggelar dagangannya di pinggir jalan di Kilometer 7 Jalan A Yani, Kecamatan Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar. Pasar itu hanya berlangsung setiap hari Minggu.
Minggu (28/10), misalnya, berbagai jenis anggrek hutan dijual dengan murah di pasar ini. Jenis anggrek yang seluruh daunnya merah dan belum diketahui namanya dijual Rp 10.000- Rp 15.000 per pot. Sementara anggrek jenis pandu dijual Rp 5.000 per tangkai. Anggrek tebu atau anggrek macan jika sedang berkembang baik, harganya bisa mencapai jutaan rupiah.
Selain anggrek, juga dijual berbagai jenis tumbuhan jenis paku-pakuan dan lumut. Kampil warik (tanaman merambat berbentuk kantong seperti pipi monyet saat penuh makanan) hanya dijual Rp 5.000 per tangkai, sedangkan bunga bangkai Rp 60.000 per umbi. Kantong semar yang dijual di pasar dadakan ini sebagian besar didatangkan dari Hampangin, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.
"Saya setiap minggu mencari jenis anggrek baru. Kalau beruntung, bisa dapat jenis anggrek yang bagus dengan harga murah," tutur seorang perempuan yang tinggal di Perumahan Kayu Tangi, Banjarmasin.
Mereka yang datang ke pasar itu tak hanya dari Banjarmasin dan sekitarnya, tetapi juga dari Jakarta. Selain untuk oleh-oleh, ada juga yang sengaja membeli dalam jumlah besar untuk dijual lagi di Ibu Kota. Agar lolos dari pemeriksaan petugas bandara, tumbuhan hutan itu dikemas dalam kardus dan dimasukkan bagasi atau dititipkan pada pedagang untuk dikirimkan lewat jasa pengiriman barang.
Pengurasan sumber daya hutan di Pegunungan Meratus tampaknya akan terus berlanjut karena belum ada upaya maksimal untuk menghentikannya. (M Syaifullah)