Senin, 19 Februari 2007
Radar Banjarmasin
Bedakan Asal Usul Hasil Hutan
MARABAHAN – Kasus illegal logging sering salah ditafsirkan, bahkan oleh aparat dan instansi terkait sekalipun. Namun, kini masalah tersebut sedikitnya sudah diperjelas dengan terbitnya dua Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut), yaitu nomor P.51/Menhut-II/2006 dan p.55/Menhut-II/2006, yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2007 tadi.
Ir Zainal Ariffin dari Balai Sertifikasi dan Pengujian Hasil Hutan (BSPHH) Wilayah XI Kalsel, saat menjadi narasumber pada Sosialisasi Penatausahaan Hasil Hutan, baru-baru tadi digelar di Marabahan menyebutkan, Permenhut No P.51/Menhut-II/2006 mengatur tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul ISKAU) untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Hak. Sedangkan P.55/Menhut-II/2006 mengatur tentang Penataausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara.
Dua peraturan ini, secara spesifik membedakan asal usul hasil hutan, yaitu yang berasal dari hutan negara (dikuasai pemerintah) dan hutan hak (yang dikuasai perorangan).
“Sering terminologi illegal logging salah diartikan, bahkan oleh aparat yang terkait sekalipun. Dua peraturan ini, salah satunya bertujuan untuk meminimalisir dan memperjelas batasan-batasan, mana hasil hutan yang legal dan mana yang illegal,” ujarnya.
Itulah sebab, lanjut dia, untuk P.51 mengatur tentang pengangkutan hasil hutan yang berasal dari hutan hak, sedangkan P.55 mengatur penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan negara.
“Jika penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan negara tidak berijin dan tidak sah, maka jelas, itu illegal,” katanya. Jadi, menentukan legal atau illegal, jika melihat dua peraturan ini adalah berdasarkan asal usul dari hasil hutan tersebut.
Sedangkan, untuk yang berasal dari hutan hak, itu bukan milik negara, tetapi milik privat atau aset perorangan. “Kalau aparat, misalnya menangkap hasil hutan dari hutan hak (rakyat), ini bukan illegal logging. Tetapi, tetap untuk hasil hutan dari hutan hak juga diberlakukan pungutan dengan diberlakukan faktur-faktur pengangkutan,” tandasnya.
Dipaparkan, selama ini hasil hutan yang berasal dari hutan rakyat persyaratan administrasinya dipersamakan dengan hasil hutan negara, yaitu dengan menggunakan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan). Hal ini berdampak pada terjebaknya penerapan sanksi hukum yang bobotnya sama dengan pelanggaran yang dilakukan terhadap hasil hutan negara.
Dengan terbitnya Permenhut No.P.51 tersebut, maka terjadi perubahan yang mendasar. Hak-hak masyarakat atas hasil hutan yang merupakan milik dalam pengangkutannya menjadi terlindungi.
Tetapi, cetus Zainal, menghindari upaya-upaya pihak tertentu untuk menyalahgunakan (penyederhanaan) sistem sekaligus melindungi hak milik masyarakat kecil, maka dalam penerapannya tetap harus ada kontrol.
Seperti, cek kebenaran dan keabsahan lokasi (asal usul hasil hutan hak) dan penerbitan SKAU yang dilakukan oleh kepala desa yang telah dibekali pengetahuan tentang pengukuran kayu.
“Sebagai tahap awal, pemberlakuan SKAU dibatasi untuk jenis kayu sengon, kayu kelapa dan kayu karet saja. Mengingat, ketiga jenis kayu tersebut saat ini termasuk jenis-jenis yang dominan beredar,” ujarnya.
Tentu, daerah satu dengan daerah lain berbeda. Untuk jenis-jenis lainnya, nantinya akan ditetapkan oleh Menteri atas usulan dinas di masing-masing provinsi berdasarkan inventarisasi jenis, potensi dan lokasi penyebaran.
Untuk kebenaran asal usul kayu, akan dibuktikan dengan alas title atau hak atas tanah. Bisa berupa sertifikat hak milik, atau Letter C, atau girik untuk tanah milik. Atau, bisa pula sertifikat untuk Hak Guna Usaha (HGU) atau hak pakai.
Ditambahkan, agar pengendalian penatausahaan hasil hutan dari tanah hak ini terkontrol, secara periodik para pejabat yang berwenang dalam regulasi, mulai dari kepala desa wajib melaporkan penerbitan SKAU kepada kepala dinas kehutanan masing-masing. Lalu, dinas tersebut melaporkan realisasi produksi kepada provinsi yang melakukan pemantauan, pengawasan dan pengendalian peredaran.(tri)