Label Cloud

Wednesday, October 18, 2006

‘Keledai’ Dan ‘Lubang’ Di Inpres Gambut

Sabtu, 16 September 2006 02:42

Oleh:
Budi Kurniawan
Alumnus FISIP Unlam Banjarmasin

Kamis (31/8) bisa jadi adalah hari membahagiakan bagi berbagai pihak yang dalam waktu lama mendambakan kejelasan status lahan eks Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare. Usai rezim Orde Baru tumbang, proyek mahabesar yang diagung-agungkan akan menjadi lumbung padi nasional di luar pulau Jawa ini menjadi sangat terbengkalai. Segala hal menjadi tidak terurus, termasuk transmigran yang datang dari berbagai daerah di Indonesia dan orang Dayak Ngaju yang sejak lama bermukim di lahan itu.

Pemprop Kalteng sepertinya serius untuk memanfaatkan kembali lahan eks PLG itu, baik secara hukum dan ekonomi kini mendapat kejelasan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat mencanangkan rehabilitasi dan revitalisasi lahan eks PLG, menyatakan akan menerbitkan Intruksi Presiden (Inpres) yang di dalamnya antara lain mengatur soal lahan eks PLG. SBY juga berjanji mendukung rencana Pemprov Kalteng membenahi berbagai infrastruktur.

Jika janji itu benar dilunasi, maka Kalteng sesungguhnya relatif beruntung. Payung hukum yang selama ini didambakan telah terkembang, sehingga langkah apa pun yang diambil di lahan eks PLG akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat semua orang. Pengumpulan dan penyediaan dana untuk merehabilitasi dan merevitalisasi lahan eks PLG, juga kini punya dasar hukum.

Tapi jika janji itu tak terbayar, maka Inpres ini bisa jadi akan menambah daftar panjang kebijakan Presiden di masa silam yang juga tak terbayar. Malah menjadi semacam sarana ingkar janji dan pengingkaran hukum.

Presiden Soeharto, pendahulu SBY, misalnya, mengeluarkan Keppres Nomor 82 Tahun 1995 sebagai landasan dimulainya pengerjaan PLG Sejuta Hektare. Keppres ini lahir tak lama setelah sejumlah broker dan menteri bertemu Soeharto, menyokong dan meyakinkan bahwa PLG Sejuta Hektare adalah kebijakan tepat untuk menjadikan Kalteng sebagai lumbung padi nasional di luar Jawa.

Soeharto juga mengeluarkan Keppres yang dikeluarkan pada 23 Januari 1996, membuat PLG Sejuta Hektare langsung jalan. Keluarnya Keppres ini sebenarnya mengangkangi UU Nomor 24 Tahun 1992 yang menetapkan area gambut sebagai kawasan lindung.

Tapi anehnya, tak seperti proyek besar lainnya, PLG tak disertai studi kelayakan mendalam dan tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). UU yang mengharuskan studi kelayakan itu diterabas habis. Padahal, dampak dari PLG itu pasti akan mengubah segalanya di Bumi Kalteng. Perubahan lanskap fisik, ekonomi, sosial dan budaya, pasti lebih besar dan jutaan kali lebih besar dari jutaan hektare lahan yang akan disulap menjadi persawahan itu.

Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menyatakan, kriteria kawasan bergambut adalah tanah bergambut dengan ketebalan gambut tiga meter atau lebih terdapat di bagian hulu sungai dan rawa juga diingkari. Kawasan bergambut yang di dalam Keppres itu termasuk dalam kelompok kawasan lindung yang memberikan perlindungan kawasan dibawahnya; perlindungan itu untuk mengendalikan hidrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan bersangkutan, tak ada pengaruhnya.

Belajar dari pengalaman ingkar janji dan tumpang-tindihnya kebijakan politik yang diambil pemerintah pusat di Jakarta, maka sangat masuk akal jika langkah untuk mengawal janji soal Inpres Gambut ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan kritis. Terutama oleh pihak yang memahami bagaimana cara mengelola gambut dengan baik dan benar.

Bukan seperti ‘pengawalan’ yang dilakukan sekelompok kaum cerdik pandai di Jakarta dan sebuah perguruan tinggi pertanian negeri terkemuka di Bogor, yang telah banyak kecipratan dana. Namun bungkam seribu bahasa, tak berani bicara bahwa skenario yang akan dikembangkan Orba di Kalteng hanya akan menyengsarakan rakyat.

***

Mengharapkan seluruh lahan eks PLG (1,5 juta hektare) berfungsi kembali dan menghasilkan padi seperti impian Soeharto, untuk saat ini tentu sudah tak masuk akal. Kerusakan di sana-sini membuat hanya sebagian kecil dari lahan eks PLG itu bisa dimanfaatkan lagi. Dalam catatan Gubernur Kalteng, Agustin Teras Narang SH, potensi lahan untuk tanaman padi di lahan eks PLG berjumlah mencapai mencapai 160.000 hektare. Sedangkan jumlah trasmigran di kawasan Dadahup --salah satu kawasan yang masuk dalam wilayah lahan eks PLG-- hanya mencapai 8.487 KK dari semula 15.600 KK.

Sedangkan menurut Menteri Pertanian Anton Apriantono, dari 1,4 juta hektare bekas pengembangan lahan gambut hanya 330.000 hektare yang potensial untuk lahan pertanian. Sisanya harus dikembalikan ke konservasi. Dari 330.000 hektare lahan untuk pertanian, hanya 50.000 hektare yang cocok untuk ditanami padi dan sekitar 12.000 hektare dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat. Di lokasi itu, produktivitas padi cukup tinggi jika ditunjang teknologi dan bibit unggul.

Namun, untuk mengelola lahan yang sedikit itu tentu saja dana yang diperlukan masih besar. Jika dibandingkan dengan dana yang dihamburkan pemerintah pusat pada 1995 saat PLG baru akan dijalankan sebesar 2-3 miliar dolar AS (ketika perhitungan itu dibuat, nilai satu dolar AS setara Rp2.300), tentu dana yang kini diperlukan tak sebesar itu. Tapi, tentu saja soal dana ini akan merepotkan. Selain repot untuk mendapatkannya, juga akan repot mengawasinya.

Seperti kata orang bijak bestari, hanya keledai yang jatuh dua kali di lubang sama dan pengalaman adalah guru yang baik, maka dalam soal lahan eks PLG Sejuta Hektare, diperlukan kearifan dan transparansi dalam segala hal. Terutama soal bagaimana memperoleh dana pembiayaan dan mengalokasikannya. Jika itu tak terjadi, maka ‘keledai’ baru akan lahir (lagi) dan ‘lubang’ baru akan tergali lagi. Kedua hal yang pasti sama-sama tidak dihendaki.

e-mail: budibanjar@yahoo.com

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

No comments: