Rabu, 20 September 2006 00:52
Oleh : Didik Triwibowo
Geollogist, staf Distamben Kalsel
Alam tidak pernah memproduksi sampah. Proses daur ulang terjadi secara alami.
Beberapa waktu lalu, Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalsel dianugerahi predikat kota terkotor di Indonesia bersama Bekasi untuk kategori kota besar. Gelar ini tentu membuat gerah petinggi daerahnya. Maka kemudian lahirlah berbagai gebrakan: gerakan kebersihan dan disahkannya perda sampah. Patut ditunggu, apakah Pemkot Banjarmasin memiliki energi yang cukup untuk menjamin konsistensi programnya memerangi sampah.
Di daerah lain, masalah sampah bahkan sampai berujung pada masalah hidup mati seseorang. Musibah longsornya sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang beberapa waktu lalu, membuktikan hal itu. Timbunan sampah yang tinggi, longsor menimpa pemulung yang berada di bawahnya. Tidak perlu bertanya mengapa pemulung berada di sana, karena semua kita tahu sampahlah sumber rejeki mereka untuk menyambung hidup. Patut ditanyakan adalah, mengapa musibah ini terjadi lagi? Bukankah tahun lalu, TPA Leuwigajah Bandung juga longsor dan memakan korban?
Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan dari berbagai proses yang dilakukan manusia. Menurut definisi dalam Kamus Istilah Lingkungan, 1994, sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama dalam pembikinan atau pemakaian barang rusak atau bercacat dalam pembikinan manufaktur atau materi berkelebihan atau ditolak atau buangan. Material atau bahan ini dapat berwujud padat, cair maupun gas. Kabut asap akibat pembakaran lahan dan hutan termasuk bagian dari sampah yang berwujud gas.
Alam tidak pernah memproduksi sampah. Proses daur ulang terjadi secara alami. Daun yang gugur bukan sampah bagi alam, karena tanah akan membusukkannya dan mengubahnya menjadi komponen hara yang menyuburkan. Namun di tangan kita, manusia, daun yang berguguran di halaman rumah adalah sampah karena harus dimusnahkan. Jadilah usaha pemusnahan sesuatu yang sebenarnya bukan sampah menghasilkan sampah yang sebenarnya bernama asap.
Ada banyak macam sampah. Namun dapat dipilah menjadi dua jenis sampah : organik dan anorganik. Setiap aktivitas manusia cenderung menghasilkan sampah, apalagi dalam kehidupan modern saat ini. Sumber penghasil sampah sangat banyak seperti industri, pertambangan, rumah sakit, rumah tangga, perkantoran, pertanian dll. Sebagian besar sampah tersebut dibuang ke tempat sampah. Dapat dibayangkan berapa besar volume sampah yang dihasilkan manusia modern saat ini.
Kita ambil contoh Banjarmasin. Pada 2002, walikota saat itu dipusingkan juga oleh sampah dari masyarakatnya yang mencapai 200-300 ton per hari. Itu sewaktu jumlah penduduk Banjarmasin masih sekitar 780 ribu jiwa. Dengan jumlah penduduk sekarang yang meningkat pesat, bisa dibayangkan begitu lebih pusingnya walikota saat ini. Hitungan produksi rata-rata sampah yang dihasilkan kota besar seperti Banjarmasin adalah 2,50 L (0,0025 m3 ) per orang per hari. Semakin maju sebuah kota, maka akan semakin banyak lagi volume sampah yang dihasilkan.
Permasalahannya adalah sebagian besar sampah tersebut diangkut dan dibuang ke TPA. Di sejumlah kota besar di Indonesia, ternyata tidak 100 persen sampah yang dihasilkannya dapat diangkut dan dibuang ke TPA. Akhirnya menjadi pemandangan yang jamak jika kita melihat gundukan sampah di pojok pasar, pinggir jalan, selokan, sungai dalam kota besar di Indonesia khususnya yang mendapat predikat terkotor. Karena sebagian besar sampah hanya dibuang ke TPA, maka akan timbul masalah besar jika TPA tidak bisa digunakan lagi karena alasan teknis maupun lainnya. Ini terjadi di Kota Bandung beberapa bulan lalu saat TPA Leuwigajah ditutup, karena terjadi longsoran yang merenggut jiwa manusia. Sampah Kota Bandung tidak bisa dibuang dan menumpuk di dalam kota. Akibatnya? Kota menjadi sangat kotor, pemandangan tidak sedap dan bau busuk menyengat di segala penjuru Bandung. Akhirnya Bandung harus rela menerima gelar Kota Terkotor se-Indonesia untuk kategori kota metropolitan.
Penanganan Sampah
Jika kita lihat penanganan sampah di TPA, sebenarnya yang kita lihat hanyalah kegiatan penumpukan sampah menggunakan alat berat, tidak berbeda dengan yang kita lakukan sehari-hari saat membuang sampah. Istilah teknisnya adalah pembuangan terbuka (open dumping), di mana truk pengangkut sampah langsung dumping sampah di TPA dan tidak ada pengelolaan antara sampah baru dan lama. Akibatnya, timbunan sampah dapat mencapai puluhan meter (20 meter).
Timbunan setinggi itu ditambah tidak padunya lapisan sampah di bawah (sampah tercampur antara plastik yang sulit terurai dengan sampah organik yang mudah terurai) dan adanya infiltrasi air hujan, menyebabkan timbunan sampah menjadi tidak stabil dan akhirnya longsor. Sampah plastik yang tidak kedap air di bawah timbunan, berperan sebagai bidang gelincir longsoran di mana infiltrasi air berperan sebagai pemicunya. Air ini berperan menurunkan gaya penahan pada lereng sampah dan menaikkan tekanan/gaya luncurnya material di atas lapisan sampah plastik. Nah, peristiwa longsor sampah di Bantar Gebang bukan yang pertama, tahun lalu terjadi di Leuwigajah. Kesimpulannya, kita tidak pernah belajar dari pengalaman dan tidak pernah serius menangani sampah.
TPA Leuwigajah maupun Bantar Gebang sebenarnya didesain sebagai TPA yang menggunakan metode sanitary landfill. Pelaksanaan metode ini tidak hanya berupa kegiatan penumpukan dan penimbunan sampah, tetapi juga melakukan usaha agar sampah dimaksud tidak berbahaya lagi bagi lingkungan, baik fisik maupun biologi. Jadi, diperlukan syarat untuk desain maupun operasi pelaksanaan metode sanitary landfill yang mencakup: lokasi TPA secara geologi dan hidrogeologi harus memenuhi syarat. Untuk mengetahuinya diperlukan penyelidikan teknis geologi lingkungan, ada kontrol permanen terhadap operasional TPA serta ada rencana penumpukan sampah dan pemadatan yang benar. Setelah sampah diratakan, seharusnya ditebarkan lapisan lempung kemudian dipadatkan. Dua kegiatan terakhir ini --dengan berbagai alasan-- tidak dilaksanakan.
Selain dibuang ke TPA, yang biasa dilakukan untuk memusnahkan sampah adalah dengan membakarnya atau membuangnya langsung ke sungai. Jika kita memperhatikan betapa kotornya sungai di Kalsel oleh sampah dan fenomena kabut asap belakangan ini, sepertinya kedua cara pemusnahan sampah (dibuang ke sungai dan dibakar) memang menjadi favorit di sini. Paradigma penanganan sampah seperti ini yang sesungguhnya harus sedikit demi sedikit diubah.
Pertama, tanggung jawab mengenai persampahan bukan semata dibebankan kepada pemerintah tetapi juga publik. Tanggung jawab kita tidak sebatas membayar retribusi sampah tiap bulan, namun semestinya ikut berperan lebih besar dalam pengelolaan sampah sejak dari rumah. Idealnya kita mulai menerapkan prinsip 4R: Reduce (mengurangi), Replace (mengganti), Reuse (menggunakan kembali) dan Recycle (mendaur ulang). Jadi kita memerangi sampah langsung di sumbernya.
Kedua, kepedulian kita terhadap persoalan sampah perlu ditingkatkan. Sering kita terjangkit sindrom NIMBY (Not In My Back Yard, asal tidak di halaman saya, suatu perilaku di mana seseorang begitu sangat peduli pada sesuatu hanya di lingkup sempit kepentingannya sendiri, tetapi abai bahkan senang jika hal tersebut berada di luar lingkupnya) saat melihat sampah. Kita merasa sangat tidak senang melihat sampah berserak di halaman rumah kita, namun tenang-tenang (tidak peduli) jika melihat sampah di luarnya. Jadi alih-alih ikut membantu kerja ‘pasukan kuning’ dengan mengelola sampah secara mandiri, justru kita diam-diam membuang semua sampah dari halaman rumah ke luar pagar rumah kita.
Ketiga, kita mengembangkan program pengelolaan sampah seperti mengonversi sampah menjadi energi (waste to energy) seperti biogas dan penerapan teknologi tepat guna yang sederhana dalam penanganan sampah semacam pembuatan kompos. Keempat, karena sebagian besar sampah di Indonesia hanya dikumpulkan di TPA maka tinggal memilih metode apa yang ingin dipakai. Apakah open dumping, controlled landfill, sanitary landfill, atau teknologi insinerator. Masalah sebenarnya adalah pelaksanaan operasional di lapangan, baik atau tidak, diatur atau tidak dan akhirnya diawasi atau dicueki?
Akhirnya, mari kita luaskan back yard kita ke lingkungan kampung, kecamatan dan kota. Jika kita merasa, kota kita adalah halaman besar rumah kita, maka serta merta kita akan selalu ingin menjaga kebersihannya dari onggokan sampah secara sadar dan dengan senang hati.
e-mail : d12k3w@yahoo.com
Copyright © 2003 Banjarmasin Post
Label Cloud
Thursday, October 12, 2006
Mengubah Paradigma Persampahan
Labels:
Sampah,
Sampah dan Kebersihan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment