Label Cloud

Thursday, October 12, 2006

Mengulang Kejayaan Industri Perkayuan Mungkinkah?

Kamis, 21 September 2006 01:14

Oleh : Alip Winarto SHut MSi
PNS pada Badan Diklat Daerah Kalsel

Semakin menurunnya potensi hutan, jelas akan semakin memperparah ketimpangan supply dan demand bahan baku industri perkayuan.

Dua dasa warsa lalu, industri perkayuan masih kokoh berdiri. Industri perkayuan merupakan salah satu primadona yang menjadi kebanggaan tersendiri baik bagi pemerintah, masyarakat maupun pelaku usaha. Betapa tidak, industri perkayuan ini telah memberikan kontribusi tidak sedikit bagi berlangsungnya proses pembangunan, khususnya terkait dengan besarnya devisa yang dihasilkan dari produk yang diekspor ke manca negara. Di samping, kemampuannya menyediakan lapangan kerja. Produk ekspor yang dihasilkan industri perkayuan, didominasi plywood dan derivatnya.

Dalam perkembangannya saat ini, industri perkayuan mengalami perubahan luar biasa. Ada yang memprediksikan, keruntuhan industri pengolahan kayu baik skala besar maupun kecil tinggal menunggu waktu. Beberapa pengusaha di bidang perkayuan disibukan memikirkan langkah efisiensi dan rasionalisasi, seperti pengurangan shift kerja, PHK, dan sebagainya. Lebih parah lagi, banyak industri perkayuan yang memang benar-benar tidak mampu memutar mesinnya alias gulung tikar. Salah satu penyebabnya, adanya kesenjangan antara supply dan demand bahan baku kayu.

Masalah yang juga dihadapi perusahaan perkayuan baik di tingkat lokal maupun nasional ini sangat mengganggu, dan harus segera dicarikan jalan keluarnya. Salah satu hal penting yang perlu dilakukan adalah mengatasi kelangkaan bahan baku. Sumberdaya hutan, potensi kayunya cenderung semakin merosot dari waktu ke waktu. Untuk mendapatkan bahan baku kayu, tidak semudah ketika industri perkayuan masih mengalami kejayaan. Akibatnya, harga kayu semakin mahal sehingga cost yang harus dikeluarkan perusahaan perkayuan semakin besar pula.

Harus diakui, kemampuan hutan alam yang menyediakan bahan baku kayu bagi industri perkayuan saat ini semakin menurun dan tidak seimbang dengan kapasitas terpasang industri perkayuan yang ada. Beberapa hal yang diduga menjadi penyebab semakin merosotnya potensi hutan alam adalah maraknya penebangan liar, kebakaran hutan, konversi kawasan hutan menjadi kawasan nonkehutanan dan sebagainya. Intervensi pihak tertentu juga menyebabkan kerusakan hutan alam yang cukup tinggi di beberapa daerah, baik pada masa orde baru maupun era reformasi. Bahkan di era reformasi ini, klaim masyarakat terhadap sumberdaya hutan semakin meningkat. Perilaku ini diikuti dengan penjarahan kayu baik murni dilakukan masyarakat, maupun didalangi pihak tertentu yang menjadikan masyarakat sebagai alatnya.

Arman Mallolongan (2005) mengemukakan, sekitar 1,6 - 2,8 juta hektare kawasan hutan terdegradasi per tahun. Atau berkisar antara 3 - 5 hektare per menit per hari, ekuivalen dengan 3-5 kali lapangan sepakbola per menit per hari. Semakin menurunnya potensi hutan, jelas akan semakin memperparah ketimpangan supply dan demand bahan baku industri perkayuan. Sementara itu, menurut Suripto (2005), secara nasional kebutuhan bahan baku kayu bulat setiap tahun mencapai sekitar 63 juta meter kubik. Sedangkan produksi kayu bulat dari hutan produksi sekitar 22 juta meter kubik per tahun, sehingga terdapat kesenjangan antara supply dan demand kayu bulat sebesar 30-40 juta meter kubik per tahun.

Menyikapi kondisi hutan alam yang semakin kritis, sebenarnya sejak 1989 pemerintah mengeluarkan kebijakan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Program ini bertujuan merehabilitasi kawasan hutan yang tidak produktif, dan meningkatkan peningkatan potensi produksi kayu untuk menambah supply bahan baku industri perkayuan. Target pembangunan HTI adalah di luar Jawa dengan luasan mencapai sekitar 4,6 juta hektare. Realisasi pembangunan HTI selama periode 1989-2004 seluas 3.253.006 hektare (Dirjen Bina Produksi Kehutanan, 2005). Berdasarkan realisasi pembangunan tersebut, kinerja pembangunan HTI mencapai 216.287 hektare per tahun. Dengan demikian, waktu yang diperlukan untuk mencapai target pembangunan HTI seluas 4,6 juta hektare sekitar 22 tahun yaitu sampai 2011.

Namun demikian, ternyata tidak terlalu banyak cerita sukses keberhasilan pembangunan HTI. Salah satunya karena kekurangseriusan investor dalam menjalankan program HTI. Sebagian hanya mengincar dana segar berupa DR dan mengambil IPK, sehingga keberhasilan pembangunan HTI tidak seperti yang diharapkan pemerintah. Perkembangan HTI pascareformasi juga semakin banyak tantangan. Di antaranya, adanya masalah sosial seperti konflik status lahan, perambahan oleh masyarakat, kebakaran serta tidak dimungkinkan lagi pemanfaatan DR untuk pembangunan HTI. Hal ini berdampak pada semakin sulitnya memenuhi target pembangunan HTI seluas 6,4 juta hektare tersebut, sehingga kesenjangan antara supply dan demand kayu akan semakin besar pula.

Kesenjangan antara supply dan demand kayu bulat, juga terjadi di Kalsel. Pada 2005 terdapat 129 industri kayu, terdiri atas 14 industri plywood, tujuh veneer dan 108 sawmill. Industri tersebut memerlukan bahan baku kayu bulat sekitar empat juta meter kubik per tahun. Sementara itu, jatah tebang hutan produksi Kalsel hanya 66 ribu meter kubik dan realisasinya 46 ribu. HTI yang ada diperkirakan hanya mampu menyumbang bahan baku sekitar 516.000 meter kubik per tahun (Kompas, 8 Mei 2006). Berdasarkan angka tersebut dapat disimpulkan, kesenjangan antara supply dan demand kayu bulat mencapai sekitar 3,4 juta meter kubik. Kesenjangan ini sering disebut sebagai salah satu penyebab terpuruknya industri perkayuan secara umum di Provinsi Kalsel.

Meskipun kesenjangan antara supply dan demand kayu bulat sejak lama terjadi di wilayah ini, pada mulanya supply dari luar provinsi masih mudah diperoleh. Misalnya dari Kaltim, Kalteng, Papua dan sebagainya. Namun sejak supply bahan baku dari luar Kalsel semakin sulit diperoleh, pemegang industri perkayuan harus disibukan oleh kegiatan efisiensi dan rasionaliasi. Upaya mengurangi shift kerja dengan beroperasi 30-40 persen dari kapasitas terpasang, PHK menjadi menjadi alternatif yang tidak bisa dihindari oleh dunia usaha industri perkayuan. Bahkan beberapa di antaranya benar-benar tidak mampu beroperasi lagi, alias gulung tikar. Kondisi semacam ini ternyata tidak hanya terjadi di Kalsel, juga di propinsi lain yang sejak lama mengandalkan industri perkayuan sebagai sumber devisa dan penyerap tenaga kerja terbesar. Bahkan terjadi secara nasional.

Berdasarkan hal itu, dapat dipastikan saat ini industri perkayuan Indonesia mengalami kekurangan bahan baku dan kondisi ini masih akan berlangsung di masa mendatang. Bahkan akan semakin parah jika tidak dilakukan upaya untuk menanggulangi masalah tersebut. Ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan dalam rangka mengatasi kesenjangan antara supply dan demand kayu bulat di Indonesia.

Pertama, optimalisasi pemanfaatan limbah tebangan dan yang dihasilkan di lokasi industri perkayuan. Dengan teknologi yang ada, limbah kayu ini sangat layak digunakan sebagai bahan baku industri MDF, particle board, pulp dan paper, joint board, mebel, moulding dan sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian, volume limbah kayu di lapangan sangat besar, diduga mencapai 60 juta meter kubik per tahun (Massijaya, 1999). Begitu pula dengan kondisi industri perkayuan kita, yang sebagian masih belum memanfaatkan limbah kayu secara optimal.

Kedua, memanfaatkan berbagai jenis kayu yang belum dikenal luas. Sampai saat ini jenis kayu yang dimanfaatkan masih didominasi Dipterocarpaceae seperti meranti, keruing, kapur, nyatoh, bangkirai dan sebagainya. Sebenarnya masih banyak jenis kayu yang belum dimanfaatkan dengan baik, karena belum dikenal sifatnya.

Ketiga, impor kayu bulat. Ada baiknya bila kita belajar dari China, meskipun potensi sumberdaya hutannya tidak sebesar Indonesia tetapi mereka tetap bisa menghidupkan industri perkayuannya dengan mendatangkan bahan baku dari luar.

Keempat, memanfaatkan jenis kayu berdiameter kecil. Penelitian CIRAD (1998) di Kaltim menunjukkan, struktur hutan didominasi oleh jenis Dipterocarpaceae (24,14%), Euphorbiaceae (13,51%), Sapotaceae (6,36%) dan sisanya jenis campuran dari 43 famili (55,99%) yang tergolong kayu berdiameter kecil. Bisa jadi kondisi seperti ini tidak hanya di Kaltim, tetapi juga di wilayah lain di Indonesia.

Kelima, percepatan pembangunan hutan tanaman. Diharapkan, kebutuhan bahan baku industri kayu yang semula tergantung kepada hutan alam, secara bertahap dapat dikurangi dengan menyediakan bahan baku kayu dari hutan tanaman. Hutan tanaman ini bisa dikerjakan oleh lembaga pemerintah, badan usaha swasta, masyarakat atau sinergi antara ketiganya.

Keenam, merestrukturisasi industri yang ada menjadi industri yang memiliki efisiensi tinggi berbasis pada bahan baku kayu berdiameter kecil dan limbah pembalakan. Di samping itu, perlu ditempuh upaya memangkas industri pengolahan kayu yang tidak efisien secara bertahap.

Beberapa alternatif tersebut harus diikuti dengan pengelolaan hutan secara lestari (sustainable forest management). Bila tidak, kesenjangan antara supply dan demand kayu bukan semakin kecil, tetapi akan semakin besar. Bisa-bisa kayu yang mulai langka ini akan benar-benar hilang dari peradaban manusia di muka bumi.

Mengulang kejayaan industri perkayuan, mungkinkah? Jawabnya, mungkin. Memang, ada pihak yang pesimis terhadap gagasan ini. Untuk menjadikan industri perkayuan kembali menjadi primadona, laksana sebuah angan-angan. Tidak ada salahnya berangan-angan. Perlu diingat, penemuan pesawat terbang sebagai alat transportasi andal saat ini konon juga diawali dengan berangan-angan. Semoga.

e-mail: alip_winarto@yahoo.com

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

No comments: