Minggu, 17 September 2006
Sebuah gerobak berisi lima jeriken sengaja diparkir pemiliknya di tepi Jalan Mantuil, Kecamatan Banjar Selatan, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat (15/9). Lima jeriken lagi diletakkan di depan gerobak.
Burhanuddin (55), pemilik gerobak, sedang mengisi jeriken dengan air dari anak sungai Martapura tidak jauh dari gerobaknya. Air itu hanya dipakai mencuci dan mandi. "Air ini tidak dijual. Ini masih masin akibat bercampur air laut yang lagi pasang," kata Burhanuddin.
Air minum atau masak yang juga dijual pengecer keliling bersumber dari tangki air bersih yang disediakan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bandarmasih, Banjarmasin. Harganya Rp 200 hingga Rp 225 per jeriken isi 25 liter.
Air itu langsung diantar pengecer ke rumah warga dengan harga Rp 700 per jeriken. Bila warga membeli langsung di tangki air seperti dikelola Jidin di Kelurahan Mantuil, harganya Rp 600 per 30 liter.
Harga air "kemasan" itu memang beda-beda tergantung lokasi. Air PDAM yang dijual warga di daerah Alalak Utara dan Selatan, daerah perbatasan Kabupaten Barito Kuala dan Banjarmasin, Rp 1.000 per jeriken.
Warga Mantuil dan Alalak mengeluh dengan harga tersebut. Sebab, harga jual air bersih PDAM Banjarmasih Rp 800 hingga Rp 3.500 per meter kubik atau 1.000 liter, umumnya Rp 3.200 per meter kubik.
Beberapa ibu yang ditemui Kompas di Kelurahan Mantuil mengeluh, sudah bertahun-tahun tak mendapatkan air bersih murah yang mengalir 24 jam.
Apa yang dialami warga Mantuil, Banjarmasin, bukanlah hal yang baru. Fakta ini terjadi di hampir seluruh kota di Indonesia. Belum ada kota yang mampu melayani penyediaan air bersih untuk seluruh warganya. Selain tidak mampu melayani pemasangan baru, umumnya, PDAM di Indonesia masih merugi dan terjerat utang. Lantas, apa yang membedakan Banjarmasin dengan kota-kota lain dalam hal penyediaan kebutuhan dasar ini?
Kota Banjarmasin yang memiliki luas 7.200 hektar atau sekitar 72 kilometer persegi tidak terletak di dataran tinggi dengan ketersediaan air tanah yang cukup. Kota ini berada di daerah yang ketinggian rata-ratanya hanya 0,16 meter di bawah permukaan air laut. Dilewati dua sungai besar, Barito dan Martapura, daerah dengan julukan kota seribu sungai ini justru sangat bergantung pada pasang naik dan surut Laut Jawa.
Itu sebabnya, intrusi air laut yang membuat air sungai dan parit Banjarmasin menjadi asin setiap kemarau bukanlah hal yang asing bagi warga.
Kondisi ini dialami dalam dua bulan terakhir. Keadaan yang sama juga dialami Kota Pontianak dan terkadang Samarinda.
Dalam kondisi seperti ini, PDAM setempat menjadi sasaran kemarahan warga. Biasanya, perusahaan tersebut langsung menghentikan pengolahan air bersihnya akibat kadar garamnya di atas 400 part per million (ppm), sebagaimana dipersyaratkan departemen kesehatan. Kalau dipaksakan beroperasi, warga akhirnya memperoleh air payau yang bisa membahayakan kesehatan.
Apa yang terjadi di Banjarmasin di musim kemarau sekarang. Warga yang protes meminta air bersih masih ada, tetapi dapat dikatakan tinggal sedikit.
Padahal, kadar garam air sungai Barito sempat mencapai 4.000-5.000 ppm. "Satu intake, yakni pengambilan air baku di Sungai Bilu dengan kemampuan 500 liter per detik, sekarang memang dimatikan karena terintrusi air laut," kata Direktur Utama PDAM Bandarmasih, Banjarmasin, Zainal Arifin.
Namun, penyediaan air bersih di Banjarmasin sudah tidak masalah lagi karena memiliki intake Sungai Martapura yang berada di Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar. Letaknya 20 kilometer dari Banjarmasin dengan kapasitas 1.275 liter per detik.
Selain itu, juga dari intake Pematang Panjang, yang mengambil air baku dari irigasi Riam Kanan dengan kapasitas 600 liter per detik, mampu melayani 83 persen dari penduduk yang mencapai 612.687 jiwa dengan jumlah sambungan 85.214 unit.
Tahun ini, cakupan pelayanannya diperkirakan mencapai 85 persen, di mana sejak Agustus lalu, kemampuan pasokan air bersih ke rumah-rumah warga berlangsung 24 jam. Hal ini karena kemampuan produksi air bersihnya sudah mencapai 1.571 liter per detik.
Kondisi ini sangat kontras dengan lima tahun lalu, saat cakupan pelayanan hanya 56 persen dari jumlah penduduk. Selain itu setiap musim kemarau, hampir 50 persen dari cakupan pelayanan tersebut terhenti total akibat bahan baku air sungainya asin.
Kondisi ini bisa diatasi setelah melakukan investasi dalam enam tahun terakhir dalam bentuk penanaman atau penyertaan modal dari pemerintah pusat melalui APBN, APBD Kalsel, APBD Banjarmasin, swasta, dan dana pelanggan PDAM sendiri.
Tahun 2009 cakupan pelayanan air bersih sudah mencapai 100 persen. Bahkan, sampai tahun 2013, PDAM Banjarmasin mampu melakukan penambahan sambungan sebanyak 50.000 unit dengan pelayanan nonstop 24 jam. (M Syaifullah)
Label Cloud
Thursday, October 19, 2006
Membebaskan Kota Air dari Krisis Air
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment