Label Cloud

Friday, October 13, 2006

Kisah Dari Sepuntung Rokok

Sabtu, 23 September 2006 03:26

Nasrullah
Mahasiswa S2 Antropologi UGM

Permasalahan utama dari upaya mewujudkan kebersihan adalah budaya dari dalam diri kita. Ungkapan ngalih mambuang ratik di palataran mencerminkan kenyataan demikian.

Diskusi kecil saya dengan Viona, mahasiswi antropologi dari Institut für Völkerkunde Albert Ludwigs-Universität Freiburg Germany di kampus Fakultas Ilmu Budaya, UGM, sejenak terhenti. Saya melihat Viona melirik ke kiri dan ke kanan. Belum sempat saya menanyakan maksudnya, tangan kirinya telah merogoh sesuatu dari dalam tas. Ia mengeluarkan bungkusan rokok, sementara tangan kanannya memasukkan abu rokok ke dalam bungkusan hingga puntung rokok turut dimasukkan juga.

Praktis, bahasa nonverbal Jerman ini lebih menarik bagi saya dibanding diskusi. Pada kesempatan lain, saya sering melihat orang bule berbuat demikian. Ada yang membawa kotak atau bungkusan kecil dari kertas. Sambil merokok, ia jadikan kotak itu sebagai asbak. Di kantin kampus, sambil minum-minum kami melihat sekumpulan mahasiswa Jepang berbicara. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka masuk ke kantin dan meletakkan rokok ke dalam asbak.

Saya mencoba bertanya kepada seorang teman, bagaimana sikap kita kalau merokok. Jawabnya, jangankan di luar, di dalam kantin yang ada asbak di depan mata saja belum tentu kita membuang puntung rokok ke situ. Malah kita melempar puntung keluar, atau membuang ke bawah meja sambil menginjak puntung rokok sampai berhamburan sisa tembakau.

Sikap orang asing demikian, merupakan pilihan tepat bagi kita untuk ditiru. Padahal, di tempat itu tidak ada larangan membuang sampah sembarangan apalagi sanksi berupa denda bagi yang melakukannya. Saya yakin, baik Viona ataupun orang asing tersebut tidak mengetahui ada hadits Nabi yang menyebutkan kebersihan bagian dari iman.

Dari peristiwa tersebut, mengingatkan saya pada status Kota Banjarmasin yang religius sebagai salah satu kota terkotor di Indonesia. Kiranya, Hari Jadi Kota Banjarmasin ke-480, bisa menjadi momen penting untuk membahas upaya mewujudkan kebersihan kota demi mendapatkan Adipura 2007.

Belajar Kepada Polda

Permasalahan utama dari upaya mewujudkan kebersihan adalah budaya dari dalam diri kita. Ungkapan ngalih mambuang ratik di palataran mencerminkan kenyataan demikian. Sampai sekarang --entah karena keterbatasan informasi yang saya dapatkan-- belum ada model atau konsep tertentu yang dilaksanakan Pemkot Banjarmasin dalam mewujudkan kebersihan kota. Beberapa kali saya mengakses website Pemkot Banjarmasin (www.banjarmasin.go.id), tidak ada pemberitaan atau informasi berkenaan dengan upaya kebersihan kota. Berkaitan kisah di atas, saya sama sekali tidak berharap timbul inspirasi bagi pejabat Pemkot Banjarmasin untuk mengadakan studi banding ke negara Eropa mengenai persoalan kebersihan.

Bagaimana pun, upaya mewujudkan kebersihan kota memerlukan model atau cara yang sistematis. Memang diperlukan kajian atau perbandingan dengan daerah tertentu, terutama mempertimbangkan kemiripan budaya masyarakat setempat. Saya mengambil perbandingan keberhasilan upaya Polda Kalsel dalam menerapkan upaya ketertiban lalu lintas. Kita bisa menyaksikan pengguna jalan raya seperti roda dua telah menggunakan helm standar.

Sepintas memang tidak ada hubungannya dengan kebersihan. Namun pengguna jalan raya maupun masyarakat Kota Banjarmasin mempunyai latar belakang kesamaan budaya. Sebenarnya tidak mudah mengupayakan ketertiban lalu lintas seperti di Kota Banjarmasin, karena kita terlanjur hidup dalam budaya transportasi sungai. Sungai tidak ada traffic light, kapal atau kelotok tidak memakai rem, juga tidak memerlukan jalur tertentu. Kita bisa sesuka hati membelokkan kapal. Begitulah budaya sungai dan ini wajar adanya. Namun, manakala dibawa ke darat terutama jalan raya, tentu akan menjadi permasalahan serius.

Beberapa hal bisa diadopsi dari upaya mewujudkan ketertiban lalu lintas oleh Polda Kalsel. Mereka melaksanakan Bulan Tertib Lalu Lintas, melalui beberapa tahapan setiap minggu. Misalnya penerapan helm standar, mereka melakukan pertemuan dengan dealer atau penjual helm kerupuk kemudian membuat nota kesepahaman (MoU) dengan media massa untuk memfasilitasi kegiatan Bulan Tertib Lalu Lintas tersebut. Termasuk mengadakan dialog di beberapa radio swasta. Bulan Tertib Lalu Lintas, bukan berarti hanya berlaku satu bulan. Artinya, setelah itu adalah penegakkan ketentuan sesuai peraturan.

Sosialisasi helm standar dimulai di jajaran Polda sendiri, kemudian ke sekolah dan kampus. Hingga kegiatan di jalan raya, membuat efek jera menggunakan Operasi Simpatik yakni memberikan teguran simpatik kepada pengguna jalan. Sebaliknya tidak manusiawi, ketika menerapkan perda kebersihan langsung menindak pelanggar di tempat kejadian tanpa melakukan tindakan simpatik. Jika mau serius mewujudkan kebersihan kota, sebaiknya memang dimulai dari institusi pemerintah sendiri atau pun dari kalangan pejabat. Karena, dari situlah memberikan contoh baik dengan harapan diikuti oleh masyarakat. Bukannya mengeksekusi masyarakat lapisan bawah karena melanggar perda kebersihan, justru hal ini akan menimbulkan sikap antipati. Kampanye kebersihan juga penting, sebagai bentuk sosialisasi praktis.

‘Pastikan Bunyi Klik’ yang dilakukan Polda Kalsel, sifatnya sangat persuasif untuk mengajak masyarakat, populer dan enak didengar. Kemudian entah darimana munculnya istilah helm standar dan helm kerupuk, namun dapat memberikan kesan oposisi sehingga memakai helm bukan standar (helm kerupuk) merupakan sebutan tidak mengenakkan didengar. Kampanye serupa, jika diterapkan tentu sangat mendukung upaya mewujudkan kebersihan kota. Saya yakin, pasangan Yudhi Wahyuni dan Alwi Sahlan bisa melakukannya, karena sudah berpengalaman dalam membuat jargon pada pemilihan kepala daerah langsung hingga mereka terpilih.

Tanpa Berharap

Gara-gara mendapat predikat kota terkotor, lantas pemerintah kota berupa meraih Adipura 2007. Di sini ada hal yang mengganjal dalam pikiran saya, target Adipura jangan dijadikan sebagai tujuan akhir. Di tengah gencarnya upaya masyarakat mewujudkan Syariat Islam, mengapa tidak kita mulai dari upaya kebersihan.

Bukankah sejauh mata memandang dari ketinggian kota Banjarmasin, kita akan melihat di setiap sudut kota terdapat masjid atau mushalla. Tempat ibadah tersebut sangat strategis, kalau kita manfaatkannya untuk mengajak masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan. Apalagi seruan semacam ini berdasarkan dari hadits Nabi SAW.

Bukankah pula, pasangan pimpinan Pemkot Banjarmasin memiliki latar belakang pengetahuan agama. Tentu akan sejalan kalau kampanye tersebut dimulai dari tempat ibadah. Sangat aneh tentunya, kalau orang asing yang tidak tahu sama sekali pada ajaran Islam telah mengajak pemeluknya untuk memperhatikan kebersihan, justru terlebih dahulu mereka mempraktikkannya. Sementara Banjarmasin yang penduduk religius, justru memiliki predikat kota terkotor.

Selagi belum terlambat, kita tidak ingin menyaksikan Banjarmasin menjadi lautan sampah seperti di Kota Bandung. Kita menjaga kebersihan dengan kesadaran pribadi. Mulailah dari sepuntung rokok.

Bagaimana Pak Wali dan Pak Wakil? Dirgahayu Kota Banjarmasin.

e-mail: eje_jela@yahoo.com

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

No comments: