Senin, 11 September 2006 00:39
Oleh : Bambang Syamsuzar Oyong SH
Notaris di Banjarmasin
Membicarakan masalah pertanahan yang ada saat ini, seperti membicarakan sesuatu yang tidak ada habis-habisnya untuk selalu disimak. Dalam tahun-tahun terakhir, kita sering dikejutkan oleh berbagai kasus pertanahan yang menyangkut nasib ribuan warga yang proses penyelesaiannya sering memakan waktu lama dan terasa menggetirkan. Dan, setiap kali pula kita seperti diingatkan pada satu pertanyaan, yaitu: Seberapa serius sebenarnya kita memperhitungkan posisi rakyat dalam pembangunan yang ada saat ini, khususnya dalam bidang pertanahan. Maka, sampai di sini persoalan hak atas tanah kelihatannya menjadi satu indikasi yang sangat menentukan dalam pembangunan berbangsa dan bernegara.
Memang, pada masa pemerintahan Orde Baru sempat tergambarkan mempertalikan rakyat dengan tanah dengan segala permasalahannya selalu dihubungkan dengan hal yang berbau komunis. Ingat, kasus pembangunan bendungan Gedung Ombo di Jawa Tengah. Bagaimana penguasa pada saat itu dengan ‘caranya’ menjustifikasikan kepada rakyat penentang untuk tidak selalu membangkang kepada negara, dengan mengatasnamakan ‘pembangunan’ yang pada akhirnya banyak merugikan hak rakyat terhadap penguasaan tanah yang dimilikinya secara turun temurun (Hak Ulayat).
Kasus Gedung Ombo tersebut dapat dikatakan potret buram penyelesaian di bidang pertanahan pada saat itu. Dan, masih banyak kasus lainnya.
Contoh, bagaimana Bangsa Jepang dan Taiwan dalam menerapkan kebijakan landreform yang progresif dan dipercaya menjadi satu prasyarat utama bagi perkembangan industri mereka. Dan, tentu bukan hanya karena fungsi ekonomi yang ada, melainkan juga karena adanya kesepakatan bahwa pola pembangunan yang mereka ambil akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang terjaga. Oleh karena itu, bertumpuknya masalah pertanahan dan lambannya penyelesaian maupun timpangnya strukur agraria, dapat membawa orang pada sikap mempertanyakan sejauhmana kebijakan pertanahan itu jika dilihat dengan diberlakukannya Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) yang kini berusia 46 tahun.
UUPA diundangkan sebagai langkah untuk mengakhiri timbulnya dualisme pertanahan pada saat itu. UUPA juga dikatakan sebagai tonggak dasar reformasi pertanahan nasional, yang didalamnya memuat pembaharuan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional.
Salah satu yang menonjol mengenai reformasi agraria saat ini adalah bagaimana meciptakan lembaga Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai garda terdepan, untuk mewujudkan peran kerakyatan yang berhubungan dengan sistem pertanahan nasional dengan memberikan pelayanan maksimal. Masih banyak keluhan terhadap sebuah pelayanan publik yang diberikan BPN baik di tingkat pusat maupun daerah. Namun jika kita jujur memandang permasalahan yang ada dengan mencari jalan keluarnya, maka yang diharapkan masyarakat pada kinerja BPN dapat tercapai dengan baik. Apalagi pemerintah pernah memita kepada BPN untuk segera merevisi keberadaan UUPA, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No 34 Tahun 2003.
Keberadaan Keppres tersebut tidak sebatas merevisi UUPA, melainkan juga menyangkut segala hal di bidang pertanahan dan segala permasalahannya. Antara lain, BPN harus segera menyusun RUU Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-undangan lain di bidang pertanahan. Caranya, membangun sistem informasi dan manajemen pertanahan dengan menyusun basis data tanah yang merupakan aset negara/pemerintah daerah seluruh Indonesia. Di samping, menyiapkan aplikasi data tekstual dan spesial pelayanan pendaftaran tanah.
Juga pemetaan kadastral untuk menginventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan penggunaan serta pemanfaatan tanah dengan sistem citra satelit guna menunjang pelaksanaan landreform dan pemberian hak atas tanah lainnya. BPN harus menyusun data informasi sawah beirigasi, untuk mencapai ketahanan pangan nasional. Semua ini yang menjadi pekerjaan dasar dari BPN, di samping memberikan pelayanan yang semakin maksimal kepada masyarakat.
Memang tidak semudah yang kita duga. Di samping belum maksimalnya sumberdaya yang dimiliki BPN saat ini. Tarik menarik kepentingan terhadap kelembagaan ini ketika diberlakukannya aturan menyangkut otonomi daerah, juga turut serta mempengaruhi kinerja BPN.
Sejak diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kini diganti dengan UU No 32 Tahun 2004 sebagai peraturan dasar otonomi daerah, banyak kewenangan pusat yang menyangkut pertanahan dilimpahkan ke daerah untuk menjadi kebijakan daerah. Karena, daerah dianggap lebih tahu dibandingkan pusat. Tarik menarik kepentingan antara BPN Pusat dan BPN daerah ini, ibarat bapak dengan anak tirinya.
Perpres No 10 Tahun 2006
Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) No 103 Tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja lembaga pemerintah nondepartemen. Di dalamnya terdapat pengaturan mengenai lembaga Badan Pertanahan Nasional. Dikeluarkannya Kepres tersebut untuk menyikapi diberlakukannya otonomi daerah. Dengan dilaksanakannya otonomi daerah, kebijakkan di bidang pertanahan yang pada mulanya di tangan pemerintah pusat (BPN Pusat) dilimpahkan ke daerah melalui BPN daerah.
Untuk itu, pada 11 April 2006 lalu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 10 Tahun 2006 tentang BPN, yang akhirnya menimbulkan kontroversi pada sebagian pengamat. Misalnya, Sekjen Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) Ferry Tinggogoy menyebutkan, permasalahan paling parah jika kita berbicara menyangkut reformasi di segala bidang adalah pertanahan. Menurut ia, Perpres tersebut mengalihkan kembali kewenangan pertanahan dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dan ini sangat bertentangan dengan makna yang terkandung pada otonomi daerah. Padahal sangat jelas disebutkan, kewenangan pemerintah pusat hanya pada bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, hukum, moneter dan agama.
Saya berpendapat, dikeluarkannya Perpres tersebut untuk mempertegas keberadaaan lembaga BPN lebih berdayaguna yang selama ini belum maksimal. Kewenangan BPN, menurut Perpres, kian luas karena BPN bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Apalagi mengacu pada ketentuan Pasal 3 Perpres ini, BPN memiliki 21 fungsi. Di antaranya, melaksanakan reformasi agraria (huruf h), pemberdayaan masyarakat (huruf m) dan penanganan konflik pertanahan (huruf n). Ketiga fungsi ini, dapat menjadi pintu masuk bagi pelaksanaan agenda penataan ulang di bidang pertanahan dan penyelesaian konflik pertanahan.
Sementara struktur BPN di daerah, meliputi kantor wilayah (provinsi) dan kantor pertanahan (kabupaten/kota) yang meyelenggarakan tugas dan fungsi BPN didaerah sebagai struktur organisasi pemerintah di bidang pertanahan yang bersifat vertikal. Memang ada sesuatu yang baru pada stuktur BPN, yaitu di samping seorang kepala yang memimpin BPN ditambah deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Sebelumnya, jabatan ini tidak ada. Adanya kedeputian yang khusus menangani sengketa/konflik di bidang pertanahan, menjadi unsur yang sangat penting untuk menjawab segala persoalan di bidang pertanahan.
Perpres ini juga mengakomodasi peran masyarakat di dalamnya, dengan dibentuknya Komite Pertanahan yang keanggotaannya berasal dari kalangan tokoh masyarakat yang peduli pada segala permasalahan di bidang pertanahan, dan pakar di bidang pertanahan. Keberadaan Komite Pertanahan ini bertujuan, dapat menggali dan memberi rumusan kepada BPN dalam merumuskan setiap kebijakan yang akan dikeluarkan.
Copyright © 2003 Banjarmasin Post
Label Cloud
Wednesday, October 11, 2006
Reformasi Pertanahan Dalam Sebuah Lembaga
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment